pasar sayuran di daerah pegunungan termasuk pasar
Mamamama Papua berdatangan dengan membawa barang dagangan berupa sayur-sayuran, sirih pinang, 62 Siasat Rakyat di Garis Depan Global: Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua buah-buahan, patatas, ubi dan lainnya. Artikel ini membahas bagaimana ruang-ruang publik termasuk pasar dan daerah-daerah baru sebagai hasil dari
Termasukjalan menuju pasar itu yang sampai saat ini masih belum dibenahi. "Sejak Pasar dibangun, ruas jalan ini belum dibangun," ungkap Martin salah satu warga yang tinggal di komplek pasar Baru itu kepada media ini, Sabtu (5/10). Memang benar, jalan menuju pasar itu hanya bisa diakses melalui Jalan Tabita, itupun kondisinyapun sangat parah.
Sampahrumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa-sisa makanan, pembungkus (selain kertas, karet dan plastik), tepung, sayuran, kulit buah, daun dan ranting. Faktor geografis Lokasi tempat pembuangan apakah di daerah pegunungan, pantai, atau dataran rendah. pasar sayur
Daerahsurvey mencangkup 15 pasar tradisional yaitu Gurah, Pare, Induk Pare, Pagu, Plemahan, Ngadiluwih, Grogol, Wates, Gempengrejo, Papar, Mojo, Pahing, Setono Betek, Grosir Ngronggo dan Bandar. Responden yang diwawancarai pada saat survey adalah pedagang sayur yang menjual sayuran lokal.
Areapasar tradisional berada di lantai dasar dan pedagang emas di lantai atas. Setelah direvitalisasi pada 2013, pasar yang pada 1962 dikenal dengan nama Pasar Cikini Ampiun itu tidak lagi seramai era sebelum 2000-an. Nama besar Gold Center mengaburkan keberadaan pasar basah di lantai paling bawah.
Community Single De Online Kennenlernen Real Verlieben. Daerah pegunungan menghasilkan makanan yang mengandung sayuran. Foto UnsplashDaerah pegunungan biasanya terkenal memiliki iklim yang dingin. Biasanya, di daerah tersebut terdapat berbagai macam perkebunan yang dikelola oleh orang hanya itu, setiap daerah juga biasanya menghasilkan makanan yang mencerminkan karakter masyarakatnya itu sendiri. Seperti yang telah disebutkan, masyarakat di daerah pegunungan biasanya memiliki lahan yang tersebut biasanya dijadikan sebagai perkebunan untuk menanam berbagai macam tanaman. Mengutip buku Prakarya dan Kewirausahaan yang disusun oleh Fauziah Asri Latifah, daerah pegunungan biasanya menghasilkan makanan yang berasal dari tersebut disebabkan karena suhu yang ada di pegunungan lebih dingin dibandingkan daerah lainnya, sehingga warga sekitar memanfaatkan makanan tersebut untuk menghangatkan badan. Lebih lanjut, Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pegunungan dari Sabang hingga Marauke. Oleh karena itu, tidak heran apabila makanan yang mengandung serat, seperti sayuran dan buah-buahan sering di IndonesiaPegunungan yang ada di Indonesia. Foto UnsplashBerikut beberapa daerah pegunungan yang ada di IndonesiaPegunungan Bukit Barisan di Pulau SumateraPegunungan Kapur Utara di Jawa TengahPegunungan Tengger di Jawa TimurPegunungan Iyang di Jawa TimurPegunungan Verbek di perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi SelatanPegunungan Jayawijaya di PapuaSebetulnya, masih banyak pegunungan di Indonesia di setiap daerahnya. Selain bisa menghasilkan banyak makanan, seperti sayuran dan buah-buahan, pegunungan juga bisa menjadi tempat untuk itu, penduduk di sekitar daerah pegunungan memanfaatkannya dengan membuka berbagai macam rumah makan yang menjual makanan khas daerah Makanan Khas Daerah PegununganMakanan di setiap daerah juga memiliki ciri khasnya tersendiri untuk membedakannya dengan yang lain. Terdapat beberapa ciri atau karakter dari makanan khas pegunungan, yakniLebih asam dari makanan daerah lainnyaDominan mengandung masakan yang terbuat dari ikanBanyak menggunakan santan agar cita rasanya bisa semakin gurihMakanan Khas Daerah PegununganSingkong jadi salah satu makanan khas daerah pegunungan. Foto UnsplashDapat disimpulkan, daerah pegunungan biasanya menghasilkan makanan yang sesuai dengan ciri-ciri daerah yang telah disebutkan di atas. Berikut penjelasan berada di pegunungan, singkong merupakan makanan yang mudah untuk ditemui. Tidak hanya itu, cara memasak singkong termasuk mudah dan tidak perlu memerlukan banyak bahan serta pegunungan biasanya menyediakan tempat untuk menyeduh berbagai macam minum baik panas maupun dingin. Namun, salah satu minuman khas yang biasanya digemari adalah wedang jahe. Selain karena cita rasanya yang begitu kental dengan lidah Indonesia. Wedang jahe juga bisa menghangatkan tubuh di iklim yang lebih tinggi daripada lengkap rasanya jika di pegunungan tidak ada jagung untuk dijadikan sebagai cemilan. Selain karena banyaknya perkebunan jagung di daerah pegunungan, jagung juga menjadi makanan yang tepat di kala iklim yang sedang dingin-dinginnya.
Potensi tanaman hortikultura khususnya sayuran yang ada di Kecamatan Tinggimoncong cukup besar bahkan beberapa jenis sayuran seperti kubis, petsai, wortel, bawang daun dan kentang, selain dipasarkan dalam wilayah kabupaten juga dipasarkan sampai ibukota propinsi bahkan di antar pulaukan ke Kalimantan namun demikian sistem pemasarannya masih bersifat tradisional yang berimplikasi pada pendapatan petani sebagai produsen tidak optimal. Penelitian ini bertujuan mengkaji stuktur pasar, saluran distribusi dan margin pemasaran produk usahatani sayur-sayuran yang berada di Desa Karenapia, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2019, dengan menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Struktur pasar sayuran yang terbentuk di desa Kanreapia mengarah pada pasar oligopsoni. Struktur pasar di tingkat kabupaten/kota, lebih memgarah pada pasar persaingan sempurna dan diferensiasi. petani sebagai produsen tidak memiliki sarana dan perlakuan pascapanen standarisasi melalui grading, lemahnya informasi tentang pasar sehingga peranan petani dalam memanfaatkan peluang pasar sangat kecil, skala usaha yang relatif kecil dan usaha tani yang tidak didasarkan atas permintaan pasar, menyebabkan posisi tawar petani sangat lemah, hal ini memungkinkan kehadiran pedagang perantara yang kemudian lebih dominan dalam penentuan harga jual di tingkat petani. Bagian yang diterima petani dari harga yang dibayarkan konsumen untuk beberapa jenis sayuran, rata-rata lebih kecil dibandingkan yang diterima oleh pedagang perantara sehingga sistem pemasaran yang terjadi dinilai kurang efisien bagi petani. The potential of horticultural crops, especially vegetables in the District of Tinggimoncong is quite considerable. Some types of vegetables such as cabbage, Chinese cabbage, carrots, leeks and potatoes, besides being marketed in the Regency Area, are also marketed to the provincial capital even inter-island to Kalimantan. The marketing system, however, is still traditional, and that makes the income of the farmers as the producers is not optimal. This study aimed to examine the market structures, distribution channels and marketing margins of the vegetable farming products located in Kanreapia village Tinggimoncong District Gowa Regency South Sulawesi. Using a quantitative descriptive approach, it was carried out from April to June 2019. The results showed that the structure of the vegetable market formed in Kanreapia village led to an oligopsony market. The market structure at the Regency/Municipal level was more likely to lead to a perfect competition and differentiation market. Because the farmers as the producers did not have post-harvest treatment and facilities standardization through grading, and were weak in terms of market information, the role of the farmers in taking the advantages of market opportunities was very small. The relatively small business scales and non-market-demand farming have caused the farmers’ bargaining position very weak, allowing the presence of intermediary traders who in turn are more dominant in determining the selling prices at the farmer level. For several types of vegetables, the share received by the farmers from the price paid by the consumers is, on average, smaller than that received by the intermediary traders. Hence, the marketing system that occurs is considered less efficient for farmers. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 634 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 Analisis Struktur Pasar Sayuran di Desa Kanreapia Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan An Analysis of the Structure of the Vegetable Market in Kanreapia Village Tinggimoncong District Gowa Regency South Sulawesi Province Aylee Christine Alamsyah Sheyoputri1*, Abri2, *Email 1Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Bosowa 2Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bosowa ABSTRAK Potensi tanaman hortikultura khususnya sayuran yang ada di Kecamatan Tinggimoncong cukup besar bahkan beberapa jenis sayuran seperti kubis, petsai, wortel, bawang daun dan kentang, selain dipasarkan dalam wilayah kabupaten juga dipasarkan sampai ibukota propinsi bahkan di antar pulaukan ke Kalimantan namun demikian sistem pemasarannya masih bersifat tradisional yang berimplikasi pada pendapatan petani sebagai produsen tidak optimal. Penelitian ini bertujuan mengkaji stuktur pasar, saluran distribusi dan margin pemasaran produk usahatani sayur-sayuran yang berada di Desa Karenapia, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2019, dengan menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Struktur pasar sayuran yang terbentuk di desa Kanreapia mengarah pada pasar oligopsoni. Struktur pasar di tingkat kabupaten/kota, lebih memgarah pada pasar persaingan sempurna dan diferensiasi. petani sebagai produsen tidak memiliki sarana dan perlakuan pascapanen standarisasi melalui grading, lemahnya informasi tentang pasar sehingga peranan petani dalam memanfaatkan peluang pasar sangat kecil, skala usaha yang relatif kecil dan usaha tani yang tidak didasarkan atas permintaan pasar, menyebabkan posisi tawar petani sangat lemah, hal ini memungkinkan kehadiran pedagang perantara yang kemudian lebih dominan dalam penentuan harga jual di tingkat petani. Bagian yang diterima petani dari harga yang dibayarkan konsumen untuk beberapa jenis sayuran, rata-rata lebih kecil dibandingkan yang diterima oleh pedagang perantara sehingga sistem pemasaran yang terjadi dinilai kurang efisien bagi petani. Kata Kunci Pemasaran Sayuran, Margin Pemasaran, Efesiensi Pemasaran, Struktur Pasar, Petani ABSTRACT The potential of horticultural crops, especially vegetables in the District of Tinggimoncong is quite considerable. Some types of vegetables such as cabbage, Chinese cabbage, carrots, leeks and potatoes, besides being marketed in the Regency Area, are also marketed to the provincial capital even inter-island to Kalimantan. The marketing system, however, is still traditional, and that makes the income of the farmers as the producers is not optimal. This study aimed to examine the market structures, distribution channels and marketing margins of the vegetable farming products located in Kanreapia village Tinggimoncong District Gowa Regency South Sulawesi. Using a quantitative descriptive approach, it was carried out from April to June 2019. The results showed that the structure of the vegetable market formed in Kanreapia village led to an oligopsony market. The market structure at the Regency/Municipal level was more likely to lead to a perfect competition and differentiation market. Because the farmers as the producers did not have post-harvest treatment and facilities standardization through grading, and were weak in terms of market information, the role of the farmers in taking the advantages of market opportunities was very small. The relatively small business scales and non-market-demand farming have caused the farmers’ bargaining position very weak, allowing the presence of intermediary traders who in turn are more dominant in determining the selling prices at the farmer level. For several types of vegetables, the share received by the farmers from the p-ISSN 1411-3597 e-ISSN 2527-7286 DOI 635 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 price paid by the consumers is, on average, smaller than that received by the intermediary traders. Hence, the marketing system that occurs is considered less efficient for farmers. Keywords Vegetable Marketing, Marketing Margin, Marketing Efficiency, Market Structure, Farmers. This work is licensed under Creative Commons Attribution License CC-BY International license A. PENDAHULUAN Sayuran merupakan komoditi pertanian berprospek cerah sebab permintaan terhadap komoditi ini cukup tinggi, mengingat sayuran termasuk pangan esensial karena mengandung zat gizi mikro berupa vitamin dan mineral. Andarwulan dan Faradilla 2012, mengemukakan bahwa senyawa fenolik dalam sayuran merupakan salah satu senyawa fitokimia yang paling banyak diteliti terkait manfaatnya sebagai anti oksidan. Peningkatan komsumsi sayuran dan buah dapat mencegah penyakit kronis dan mencegah penambahan berat badan, bahkan himbauan untuk mengkomsusi sayur dan buah dengan kandungan gizi seimbang pada masyarakat belahan dunia barat merupakan salah satu strategi utama dalam rangka mengurangi terjangkitnya penyakit kronis seperti obesitas, diabetes melitus tipe 2, hipertensi, jantung koroner, stroke dan lain-lain Boeing et al,2012. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran nilai gizi untuk hidup sehat menyebabkan permintaan sayuran di Indonesia terus meningkat. Konsumsi sayuran di Indonesia sebanyak 40 kg/kapita/tahun, namun demikian angka konsumsi tersebut masih berada di bawah rekomendasi standar FAO yaitu 73kg/kapita/tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap sayuran maka diperlukan sistem pemasaran yang efesien dan efektif Darian Indonesia memiliki potensi yang besar bagi penyediaan produk sayuran, utamanya sayur-sayuran dataran tinggi, salah satunya adalah Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan yang merupakan pemasok utama kebutuhan sayuran di Kota Makassar dan kota-kota lainnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan usahatani di daerah tersebut belum optimal yang tercermin dari fluktuasi produksi, beragamnya kualitas serta merosotnya harga karena mekanisme fungsi pemasaran yang belum baik. Rusaknya produk pada kegiatan transportasi dan penyimpanan pada gilirannya akan menurunkan harga yang pada akhirnya berpengaruh pada pendapatan para pelaku pasar termasuk petani sebagai produsen. Dalam pemasaran komoditas pertanian, terdapat pelaku pasar yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, komoditas yang dipasarkan juga bervariasi kualitas, harga dan lembaga yang terlibat. Kompleksitas pemasaran tersebut 636 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 memerlukan pendekatan secara terintegrasi sehingga dapat menguntungkan semua pihak, untuk itu pendekatan struktur dan perilaku pasar dipandang penting agar terjadi peningkatan daya saing produk melalui peningkatan efesiensi pemasaran produk sayuran. B. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Kanreapia, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan, pada bulan April hingga Juni 2019. Sampel petani produsen berjumlah 42 orang yang diambil secara acak 10% dari populasi. Sampel pedagang diambil secara penunjukan langsung yakni; 5 orang pedagang pengumpul yang berdomisili di lokasi penelitian, 60 orang pedagang pengecer yang mewakili 3 pasar utama tradisional yaitu Pasar Sungguminasa Gowa, Pasar Terong, Pasar Sentral Makassar dan 4 pasar swalayan di Kota Makassar. Data dikumpulkan dengan penggunaan kuisioner. Analisis data dilakukan secara kuantitatif untuk menghitung margin pemasaran dan analisis kualitatif untuk mengetahui perilaku pasar, saluran pemasaran dan stuktur pasar. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi merupakan salah satu aspek pemasaran yang menekankan bagaimana suatu produksi dapat sampai ke tangan konsumen. Proses pendistribusian dapat dikatakan efesien apabila mampu menyampaikan hasil produksi kepada konsumen dengan biaya terendah dan mampu mengadakan pembagian keuntungan dan adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan distribusi. Pemilihan saluran pemasaran yang optimal berhubungan dengan faktor resiko, keuntungan, biaya tenaga kerja, preferensi gaya hidup dan volume penjualan LeRoux et al, 2010. Terdapat tiga pelaku pasar yang memegang peranan penting dalam pendistribusian sayuran di Desa Kanreapia. Ketiganya adalah petani/produsen sayuran, pedagang perantara dan konsumen. Petani adalah orang yang langsung berhubungan dengan proses produksi sayuran. Konsumen adalah pembeli terakhir produk sayuran dan pedagang perantara adalah pengusaha yang tidak langsung berhubungan dengan proses produksi melainkan hanya sebagai penyalur produksi sayuran. Pedagang perantara yang terlibat langsung dalam distribusi sayuran yang berasal dari desa Kanreapia adalah a. Pedagang pengumpul yang merupakan lembaga perantara yang membeli sayuran langsung dari petani produsen untuk selanjutnya disalurkan kepada 637 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 pedagang pengecer di pasar umum, pasar swalayan dan pedagang keliling. b. Pedagang pengecer yang berfungsi sebagai lembaga yang langsung berhubungan dengan konsumen. Pedagang pengecer umumnya menjual sayuran dalam jumlah yang sedikit kepada para konsumen Berdasarkan hasil kajian dan analisis terhadap tanggungjawab masing-masing lembaga pemasaran, diketahui bahwa sistem pemasaran sayuran yang banyak digunakan olehpetani di Desa Kanreapia adalah bersifat konvensional dengan bentuk kontraktual. Haji J, 2010 mengemukakan bahwa pelaksanaan kontrak didasarkan atas saling percaya dan bertujuan untuk mengurangi risiko pembayaran terutama yang disebabkan oleh kerusakan produk. Di dalam praktek perdagangan sayuran di desa Kanreapia, kendali keputusan dipegang oleh pedagang perantara yang terlihat dari kecenderungan perantara menghendaki tingkat keuntungan yang lebih tinggi, dan di lain pihak petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Sistem kontraktual terjadi juga disebabkan petani kesulitan mengakses lembaga kredit formal sehingga banyak petani yang meminjam kepada para pedagang dan ketika panen, skema pembayaran memaksa petani ke dalam pengaturan perdagangan Milagrosa, A., 2006. Di desa Kanreapia, dalam hal pelaksanaan kontraktual tidak banyak, yaitu hanya dilakukan oleh para pedagang antar pulau atau eceran pada pasar swalayan. Sistem kontraktual biasanya lebih menjamin kontinuitas pemasaran, harga jual yang ditetapkan relatif stabil, tetapi tidak banyak menguntungkan petani produsen namun demikian petani berharap mendapatkan kepastian pasar bagi produknya dan tidak menyulitkan mereka sebab pedagang pengumpul yang datang untuk mengadakan transaksi jual beli. Stuktur pasar sayuran yang terbentuk di desa Kanreapia dapat dikatakan mengarah pada pasar yang bersifat oligopsoni hal tersebut terjadi akibat kurangnya kompetisi di antara pedagang sebagai akibat dari jumlah pedagang yang terbatas, dan kalaupun jumlah pedagang yang terlibat cukup banyak tetapi sesungguhnya dalam kegiatannya para pedagang tersebut seringkali dikendalikan oleh beberapa pedagang tertentu. Kondisi pasar seperti ini tidak menguntungkan bagi petani karena harga yang diterima petani dikendali kan oleh pedagang. Pada kondisi tersebut petani cenderung menerima harga yang rendah akibat pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungannya. Struktur pasar di tingkat Kabupaten /Kota, lebih mengarah pada pasar persaingan sempurna dan diferensiasi. Struktur pasar 638 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 yang mendekati persaingan sempurna terjadi pada perdagangan komoditi petsai, cabai merah, bawang daun dan tomat. Sedangkan stuktur pasar diferensiasi terjadi pada komoditas kentang, kubis dan buncis. Komoditas kentang diklasifikasikan berdasarkan ukuran dengan kualifikasi A, B dan C. Kentang dengan kualitas A dijual melalui saluran pemasaran khusus seperti pasar-pasar swalayan dan kentang dengan kualitas B dan C dijual pada pasar-pasar tradisional pasar umum. Komoditas kubis diklasifikasikan berdasarkan mutu. Mutu I memiliki warna kulit lebih licin,ukuran lebih besar dan bentuk yang bulat dan padat. Mutu II memiliki krop agak kusam bentuknya kurang bulat dan tidak padat. Kubis mutu I biasanya dijual dipasar swalayan. Komoditas petsai, tomat, bawang daun dan cabai merah dapat dikategorikan tidak terdiferensiasi walaupun dalam praktek terkadang pedagang pengumpul tetap melakukan klasifikasi namun tidak bersifat baku. Saluran distribusi sayuran yang berasal dari desa Kanreapia dapat dilihat pada gambar 1. Pada Gambar 1. terlihat bahwa pendistribusian sayur-sayuran dari petani ke konsumen melalui sistem penyaluran tidak langsung karena terdapat dua pedagang perantara yaitu pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Lembaga pemasaran petani dan pedagang perantara mempunyai hubungan kegiatan yang terpisah, dengan demikian pemilikan keuntungan dari kegiatan pemasaran tersebut adalah terpisah antara petani dan pedagang perantara. Para petani sayur-sayuran di desa Kanreapia pada dasarnya belum berorientasi pada usahatani dengan sistem agribisnis, hal ini dapat terlihat dari tidak adanya sarana pascapanen yang dimiliki petani sehingga mereka tidak mau mengambil resiko dalam hal penyimpanan produk. Mereka selalu ingin menjual produknya dengan segera. Hal inilah yang memungkinkan kehadiran pedagang perantara yang dalam hal ini pedagang pengumpul yang kemudian lebih dominan dalam hal penentuan harga jual di tingkat petani. Hal lain yang berkaitan dengan harga jual adalah kurangnya pengetahuan petani terhadap informasi pasar, ada kalanya harga di tingkat petani jauh lebih rendah dari harga jual sebenarnya, akibatnya bagian yang diterima oleh petani produsen dari harga yang dibayarkan oleh konsumen secara rata-rata lebih kecil dibandingkan yang diterima oleh pedagang perantara. Kenyataan ini dapat dilihat dari perolehan marjin pemasaran setiap lembaga yang 639 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 berperan dalam pendistribusian sayur-sayuran yang berasal dari desa Kanreapia, yang menunjukkan ketidakefesienan pemasaran yang didefenisikan sebagai kegagalan petani untuk mencapai hasil pemasaran yang lebih baik yang tercermin dari indeks harga hasil yang rendah Singho et al, 2014. Marjin pemasaran terdiri atas keuntungan sebagai balas jasa atas kegiatan dilakukan dan biaya-biaya operasional pemasaran, yaitu biaya transportasi /pengangkutan, bongkar muat, biaya tarif pasar/retribusi dan biaya penyusutan. Banyaknya komponen marjin pemasaran ditentukan oleh rentang saluran pemasaran yang dilalui. Saluran pemasaran yang digunakan untuk menghitung nilai marjin dimulai dari tingkat petani, pengumpul, pengecer di pasar umum atau pasar swalayan. Analisis marjin pemasaran dilakukan untuk mengetahui besarnya tingkat marjin yang diperoleh masing-masing pelaku pasar dalam kegiatan pendistribusian sayuran. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui pelaku pasar mana yang menerima keuntungan paling besar dan seberapa besar keuntungan yang diterima petani. Biaya transportasi pengangkutan merupakan biaya yang dikeluarkan pedagang untuk mengangkut barang dagangan dari pasar penampungan ke pasar pengecer. Biaya bongkar muat adalah biaya yang dikeluarkan pedagang untuk menyewa tenaga kerja lepas guna mengantarkan sayuran dari kendaraan ke lokasi pembeli. Tarif restribusi pasar adalah biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer untuk uang kebersihan dan sewa tempat setiap hari. Biaya Penyusutan merupakan sifat alami dari komoditas hortikultura, termasuk sayuran. Selain karena sifat sayur-sayuran yang mudah busuk, penyusutan terjadi sebagai akibat penanganan dan pengemasan yang kurang baik selama pengangkutan dari tempat penampungan ke pasar-pasar pengecer, serta susut berat dan adanya produk yang tidak laku terjual. Besar penyusutan berbeda-beda untuk tiap jenis komoditas sayuran. Tabel 1. Rata-rata marjin, harga beli dan harga jual sayuran Rp/ Kg pada saluran distribusi I Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen 640 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 Pengumpul Umum Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum P. P Swalayan Konsumen Sumber Data Primer Setelah Diolah Tabel 2. Rata-rata marjin, harga beli dan harga jual sayuran Rp/ Kg pada saluran distribusi II Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum P. P Swalayan Konsumen Sumber Data Primer Setelah Diolah Perbedaan besarnya marjin pemasaran antara bentuk saluran I dan saluran II disebabkan karena adanya perbedaan biaya pemasaran yang dikeluarkan khususnya pada tingkat pedagang pengecer. Pengecer pada bentuk saluran II dalam hal ini adalah pengecer pasar swalayan sedangkan pada saluran I adalah pengecer pasar umum tradisional. Mudah dipahami marjin pemasaran lebih besar pada bentuk saluran II mengingat bahwa pasar swalayan menetapkan harga jual lebih besar untuk semua jenis sayuran dibandingkan dengan pasar umum, sebab selain pasar swalayan mengeluarkan biaya pemasaran yang lebih besar seperti biaya-biaya operasional yang bertujuan untuk memberikan kenyamanan bagi konsumen, produk yang dijual memiliki kualitas yang lebih baik terutama pada komoditas yang terdiferensiasi seperti kentang dan kubis. Jika dilihat dari perolehan marjin pada setiap tingkat saluran saluran, maka pada bentuk saluran distribusi I marjin terbesar diperoleh pedagang pengumpul. Untuk 641 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 saluran distribusi II, marjin terbesar di peroleh pedagang pengecer untuk jenis sayuran bawang prei, buncis, kubis dan petsai, sedangkan untuk kentang dan tomat marjin terbesar diperoleh pedagang pengumpul. Adapun bagian yang diterima tani dan pedagang perantara dari harga yang dibayarkan oleh konsumen secara persentase untuk setiap jenis sayuran pada bentuk saluran I dan II dapat dilihat pada Tabel 3. Persentase yang diterima petani dan pedagang perantara berdasarkan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Bagian yang diperoleh % Bawang Daun Buncis Kubis Kentang Petsai Tomat Wortel 46,1 75,0 54,5 60,0 30,0 70,0 61,5 53,9 25,0 45,5 40,0 70,0 38,5 Bawang Daun Buncis Kubis Kentang Petsai Tomat Wortel 40,0 66,0 42,8 53,6 27,3 50,0 34,0 57,2 46,4 72,7 41,7 50,0 Sumber Data Primer Setelah Diolah Pada Tabel 2, terlihat bahwa pada bentuk saluran I yang melibatkan pasar tradisional secara rata-rata, bagian yang diterima petani dari harga yang dibayarkan oleh konsumen lebih tinggi 56,7% dibandingkan dengan bentuk saluran II yang melibatkan pasar moderen di perkotaan 48,3% padahal tingkat harga jual satuan pada bentuk saluran ke II lebih besar dibandingkan saluran I. Hal ini sejalan dengan temuan Otieno et al.,2009 di Kenya bahwa ada perbedaan yang signifikan antara harga satuan penjualan sayuran di daerah pedesaan dan di daerah pekotaan. 642 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 D. KESIMPULAN DAN SARAN Kerjasama antar lembaga yan terlibat dalam pemasaran sayuran di Desa Kanreapia masih bersifat konvensional dan parsial dimana masing-masing lembaga tidak bertangungjawab terhadap lembaga lainnya dan kalaupun sistem kontrak dilaksanakan hanya sebatas perjanjian secara lisan yang dilandasi atas saling percaya. Stuktur pasar sayuran yang terbentuk di desa Kanreapia dapat dikatakan mengarah pada pasar yang bersifat oligopsoni hal tersebut terjadi akibat kurangnya kompetisi di antara pedagang sebagai akibat dari jumlah pedagang yang terbatas. Struktur pasar di tingkat Kabupaten/Kota, lebih mengarah pada pasar persaingan sempurna dan terdiferensiasi. Struktur pasar yang mendekati persaingan sempurna terjadi pada perdagangan komoditi petsai, bawang daun dan tomat. Sedangkan stuktur pasar diferensiasi terjadi pada komoditas kentang, kubis dan buncis Untuk beberapa jenis sayuran, baik pada bentuk saluran I maupun saluran II, bagian yang diterima petani dari harga yang dibayarkan oleh konsumen lebih rendah dari bagian yang diterima pedagang perantara. Hal ini mengindikasikan bahwa pola pemasaran yang diterapkan saat ini masih kurang efisien bagi petani produsen. DAFTAR PUSTAKA Arwanti, Sitti. 2016. Sistem Pemasaran Senyawa fenolik pada beberapa sayuran indigeneus dari indonesia. Seafast Center. Bogor. Boeing H,A Bechthold,A Bub, S Ellinger, D Haller, A Kroke, E Leschik-Bonnet, MJ Muller, H Oberriter, M Schulze, P Stehle, B Watzl. 2012. Critical review vegetables and fruit in the prevention of cronick diseases. Eur. J. Nutr 51 637-663. Darian J. C., Tucci L., 2013. Developing marketing strategies to increase vegetable consumption. Journal of Consumer Marketing 427-435 30 Maret 2013. ISSN 0736-3761. DOI [FOA] Food and Agriculture Organisation. 2016. Food and agriculture data. [ 10 september 2016]. Haji Jema, 2010. Te Entorcement of Traditional Vegetable Marketing Contracts in the Eastern and Central Parts of Ethiopia. Journal of African Economies, Vol. 19, number 5, pp. 768-792 doi online date 6 May 2010. Irwan, B, 2003. Membangun Agribisnis Holtikultura Terintegrasi Dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Peneliti Agro Ekonomi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian 2006 dan Prospek 2007. Jakarta, 20 Desember 2006. Irawan B, 2007. Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran dan Buah, Jurnal Analisis kebijakan Pertanian No. 4. Desember 2007. Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 643 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta. LeRoux M. N., Schmit T. M., Roth M., Streeter 2010. Evaluating marketing channel options for small-scale fruit and vegetable producers. Renewable Agriculture and Food Systems 2591; 16-23. Doi CambridgeUniversity Press 2010. Milagnosa, A., 2006. Institutional Economic of vegetable production and marketing in northern Philippines social capital, institution and governance Wageningen University Netherlands. Otieno D. J., Omiti J., Nyanamba T., McCullough E., 2009. Market participation by vegetable farmers in Kenya A comparison of rural and peri-urban areas. African Journal of Agricultural Research Vol. 4 5, pp. 451-460, May 2009. ISSN Permana, Bintoro, Haris, 2006. Analisis jaringan Pemasaran Sayuran kasus Petani Kecil Ciwidey, bandung . Jurnal MPI Vol 1 September 2006 Sayaka, W. Rusastra, R Sajuti, Supiyati, Sejati, A. Agustian, J. Situmorang, Ashari, Y. Supriyatna, dan R. E, Manurung. 2008. Pengembangan Kelembagaan Pathnership Dalam Pemasaran Komuditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Singbo A. G., Lansink A. O., Emvalomatis G., 2014. Estimating farmers’productive and marketing inefficiency an application to vegetable producers in Benin Springer DOI 16 April 2014. ... According to the Ministry of Agriculture, Indonesian cocoa farms' productivity declined due to pests/diseases, old crops, small farmers' land tenure, inadequate garden maintenance, and lack of improved varieties clones Direktorat Jenderal Perkebunan, 2018. This condition was exacerbated by the weak bargaining position of farmers in the oligopsony-tends marketing system Nahraeni et al. 2021;Sheyoputri and Abri, 2021. ... Muhammad AsirAnnisa Ishmat AsirEfficient marketing can increase the profits of all the stakeholders involved. Profit increased at the farmer level will encourage the ability and motivation to manage the farm. This study aims to identify the benefits obtained by farmers, collectors, wholesalers, and purchasing units of exporters in the marketing of cocoa beans. This research was conducted through the survey using by Hayami Method. The results showed that Profit received by farmers amount Rp314/kg was lower than those received by collectors amount Rp1,022/kg, wholesalers at Rp736/kg, and unit purchases at Rp2,826/kg. This was due to the cost of labor incurred by farmers, and the amount of Rp2,100/kg was higher than by collector's amount of Rp230/kg, the wholesaler's and the purchase unit Another factor was the price of production input costly such as fertilizer dan pesticides, which was not followed by the increase in output price cocoa beans determined by marketers. The low productivity and quality of cocoa beans produced by farmers also affected low profit. The government must be able to control the purchase price of marketing actors, improve the knowledge and skills of farmers in the management of cocoa farms by establishing business groups/cooperatives, increase the role of farmer groups, and also to improve the internet infrastructure that supports the digital marketing of cocoa commodities. Keywords main stakeholders, cocoa beans, profit, marketing, Hayami methodTransformations in agri-food systems provide prospects for improving livelihoods of many farmers through enhanced participation in commercial agriculture. Indeed, various studies have been undertaken to establish factors that influence the level of market orientation in different areas. However, those studies do not show appropriate objective criteria to support decisions for either separating or merging data and the subsequent analyses for different sites. Consequently, policy inferences made from such studies may be misleading due to failure to statistically account for site-specific variations in data. This study fills the analytical gap evident in literature by using the Chow test and descriptive measures of statistical difference to compare the intensity of market participation among rural and peri-urban vegetable farmers in Kenya. Results show that there are significant differences in the percentage of output sold, distance from farm to market, and the unit price of sale for output between the Rural and Peri-Urban areas. These findings demonstrate the urgent need for appropriate statistical evidence to improve disaggregated analyses of agricultural market participation in different systems and environments. This would enable targeting of development strategies to effectively address the changing agricultural landscape; particularly enhancing food supply and ensuring better farm incomes. There is need to improve market information provision, develop farmers' business skills, improve roads and or support establishment of high value vegetable market outlets at different scales in Rural and Peri-Urban areas. Aimée Hampel-MilagrosaThis study examines vegetable production and marketing among indigenous communities in northern Philippines using an institutional economics approach. It develops a framework that analyses the four levels of institutions; Social Embededdness, Institutional Environment, Governance Structures and Resource Allocation alongside the Structure, Conduct and Performance of the vegetable sector. Using this integrated framework, the thesis engages on a range of topics from the structure of the sector to sales and margins, from trust to favoured-buyer systems and from transaction cost analysis to farmer's decision-making processes. Also, a framework that aligns efficient contract types with governance structures based on observable transaction attributes was developed. The modeling approach that determines how farmers choose trading partners based on farm and farmer characteristics, transaction attributes and social capital was likewise used. The first important finding of the study is that a dual structure - in terms of farm-size and total sales - exists in the province. On the one hand, several small farmers own small farm sizes and share a small percentage of total market sales. On the other hand, a few big farmers own big farms and share a big percentage of total market sales. Three governance structures dominate trade; the most common are commissioner-based followed by wholesaler and contractor-based organization. Another important finding of the research is that many farmers turn to wholesalers for loans because of difficulties accessing or complying with formal credit institutions. At harvest time the repayment scheme forces farmers into trading arrangements with wholesalers which in turn, lowers search, negotiation and enforcement costs. This locked-in effect reduces trading alternatives for farmers and lowers total transaction costs. Not surprisingly, wholesaler-based governance structure is the most efficient marketing arrangement from a transaction costs perspective. A third important finding of the thesis is that the social capital of farmers and traders in the province, aggregated from scores on trust, associatedness, common goals and optimism, is low. Current social capital is ineffective in facilitating market information exchange and providing countervailing power to farmers in selling crops. With regards to decision-making, the study showed that farmers with relatively higher social capital select traders differently from farmers with lower social capital. Moreover, ethnicity is a significant factor that influences trust, volunteerism and social networking as well as trading partner selection. This thesis shows that bringing in social elements such as social capital and culture in institutional economic analysis yields richer results in the explanation of behaviour of the market and its IrawanGenerally, price fluctuation of vegetables is higher than fruits, paddy and secondary crops, meaning that the imbalance of supply volume and consumer needs is frequently occurred on vegetables. Marketing margin of vegetables is also relatively high. In contrast, however, the price received by the farmers and price transmission from consumer's area to producer's region is low. This condition is not conducive for efforts to develop agribusiness and to increase produce's quality competitiveness characterized by the ability to respond to effective market dynamics. In this context, there are some aspects that should be carefully considered a developing vegetable's synchronized production across the producer's regions, b developing vegetables production centers spread across the regions, c developing simple and efficient storage technology along with facilities for farmers to apply such technology, and d facilitating the farmers to have more accessibility to capital analytical framework and ranking system is developed to summarize the primary factors affecting marketing channel performance and to prioritize those channels with the greatest opportunity for success. An application of the model is conducted using case-study evidence from four small-scale diversified vegetable crop producers in Central New York. The relative costs and benefits of alternative wholesale and direct marketing channels are investigated, including how the factors of risk, owner and paid labor, profits, lifestyle preferences and sales volume interact to impact optimal market channel selection. Given the highly perishable nature of the crops grown, along with the risks and potential sales volume of particular channels, a combination of different marketing channels is needed to maximize overall firm Pemasaran Senyawa fenolik pada beberapa sayuran indigeneus dari indonesiaSitti ArwantiArwanti, Sitti. 2016. Sistem Pemasaran Senyawa fenolik pada beberapa sayuran indigeneus dari indonesia. Seafast Center. review vegetables and fruit in the prevention of cronick diseasesH BoeingBechtholdBubEllingerHallerKrokeLeschik-BonnetH MullerM OberriterP SchulzeStehleBoeing H,A Bechthold,A Bub, S Ellinger, D Haller, A Kroke, E Leschik-Bonnet, MJ Muller, H Oberriter, M Schulze, P Stehle, B Watzl. 2012. Critical review vegetables and fruit in the prevention of cronick diseases. Eur. J. Nutr 51 marketing strategies to increase vegetable consumptionJ C DarianL TucciDarian J. C., Tucci L., 2013. Developing marketing strategies to increase vegetable consumption. Journal of Consumer Marketing 427-435 30 Maret 2013. ISSN 0736-3761. DOI Entorcement of Traditional Vegetable Marketing Contracts in the Eastern and Central Parts of EthiopiaHaji JemaHaji Jema, 2010. Te Entorcement of Traditional Vegetable Marketing Contracts in the Eastern and Central Parts of Ethiopia. Journal of African Economies, Vol. 19, number 5, pp. 768-792 doi online date 6 May Agribisnis Holtikultura Terintegrasi Dengan Basis Kawasan PasarB IrwanIrwan, B, 2003. Membangun Agribisnis Holtikultura Terintegrasi Dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Peneliti Agro Ekonomi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian 2006 dan Prospek 2007. Jakarta, 20 Desember Strategis Kementerian PertanianKementerian PertanianKementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Sayuran merupakan produk hortikultura yang mengalami tingkat fluktuasi harga yang tinggi karena sifatnya yang perishable. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara volume pasokan dan kebutuhan konsumen lebih sering terjadi pada komoditas sayuran dimana transmisi harga sayuran relatif rendah dibanding buah dan komoditas pangan lain Irawan, 2007. Khusus untuk pasar kentang yang terintegrasi akan membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, konsumen di pasar tertentu tidak perlu membayar lebih mahal dan produsen dapat melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatifnya Adiyoga, et al. 2006. Dilihat dari usahatani komoditas kentang dan kubis yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, akan lebih menguntungkan untuk meningkatkan produksi dalam negeri dibandingkan impor. Meskipun usahatani kentang dan kubis di lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dilakukan beberapa langkah pembenahan maka tidak akan dapat mewujud dalam keunggulan kompetitif, terutama orientasi untuk pasar ekspor. Untuk orientasi substitusi impor, kondisinya rawan karena petani mengalami disinsentif dalam berusahatani kentang dan kubis Saptana, et al. 2002. Di dalam usahtani kubis, faktor produksi ditingkat petani penggunaan pupuk ZA dan KCl belum efisien sehingga perlu ditingkatkan penggunannya Nurmalina dan Ameriana, 1995. Menurut Karmina dan Aisyah 2008 luas lahan yang diusahakan responden untuk usahatani tomat dan mentimun masih rendah dibandingkan dengan luas lahan optimal yang dapat di capai oleh responden dengan tenaga kerja yang tersedia. Luas lahan optimal tersebut dapat dicapai responden jika melakukan peningkatan luas lahan ekstensifikasi pertanian. Menurut Irawan 2007 yang menganalisis fluktuasi harga, transmisi harga dan marjin pemasaran sayuran dan buah. Alat analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan koefisien Variasi untuk menganalisis fluktuasi harga. Analisis lebih fokus pada aspek-aspek yang hanya dilakukan pada 15 komoditas hortikultura unggulan nasional yaitu bawang merah, cabai, kentang, kubis, pisang dan jeruk. Disamping itu, analisis yang sama juga dilakukan untuk komoditas padi dan palawija sebagai pembanding. Komoditas palawija yang dimaksud meliputi jagung, kacang tanah dan ubi kayu. Hasil penelitian menyatakan bahwa fluktuasi harga sayuran umumnya relatif tinggi dibanding buah, padi dan komoditas palawija. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara volume pasokan dan kebutuhan konsumen lebih sering terjadi pada komoditas harga sayuran relatif rendah 49 hingga 55 persen dibanding buah dan komoditas pangan lain 65 hingga 81 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pasar sayuran di tingkat petani cenderung bersifat monopsoni/ adanya kekuatan monopsoni tersebut adalah marjin pemasaran sayuran cenderung tinggi dibanding buah dan komoditas pangan lain, sebaliknya harga yang diterima petani cenderung rendah 52-57 persen dari harga konsumen pada sayuran, dan 72-86 persen pada buah, padi dan palawija. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya harga yang diterima petani sayuran adalah ketidakmampuan petani menahan penjualannya untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dan hal ini dapat didorong oleh tiga faktor yaitu desakan kebutuhan modal usahatani, keterbatasan teknologi efisien yang dapat diterapkan petani untuk mempertahankan kesegaran sayuran, dan keterbatasan sumber pendapatan diluar usahatani sayuran. Adiyoga, et al. 2006 yang melakukan penelitian integrasi pasar kentang di Indonesia analisis korelasi dan kointegrasi, yang menggunakan pendekatan korelasi statik untuk mengukur integrasi pasar spasial produk-produk pertanian dan pendekatan two step Engle-Granger EG. Hasil penelitian menyatakan bahwa koefisien korelasi bukan indikator yang konsisten atau tegas untuk menentukan integrasi pasar. Korelasi bivariat yang tinggi antara dua pasar yang tidak melakukan perdagangan satu sama lain masih tetap dimungkinkan, jika harga-harga di setiap pasar berkorelasi tinggi melalui hubungan harga dan perdagangan dengan suatu pasar destinasi gabungan pasar ketiga. Hasil penelitian menyarankan agar pendekatan korelasi sebagai alat diagnosa integrasi pasar, sebaiknya digunakan secara hati-hati karena berbagai bukti kelemahan yang melekat pada pendekatan tersebut. Penggunaan analisis kointegrasi dengan 16 pendekatan two step Engle-Granger terhadap data serial harga harian, mingguan dan bulanan secara konsisten mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi. Kointegrasi dalam hal ini merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi harga. Hubungan jangka panjang tersebut mengandung arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Pasar kentang yang terintegrasi seperti ini akan banyak membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, konsumen di pasar tertentu tidak perlu membayar lebih mahal dan produsen dapat melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatifnya. Hal ini pada gilirannya akan mengarah pada penggunaan sumber daya yang lebih efisien. Saptana, et al. 2002 yang meneliti tentang analisis keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas kentang dan kubis di Wonosobo Jawa Tengah dengan menggunakan alat analisis matrik Policy Analysis Matrix PAM. Berdasarkan analisis biaya dan keuntungan secara private menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis di Wonosobo, baik pada MH maupun MK secara private menguntungkan. Sementara itu, analisis biaya dan keuntungan secara sosial atau ekonomik menunjukkan bahwa pengusahaan usahatani komoditas kentang dan kubis secara ekonomik menguntungkan. Besarnya keuntungan private yang dinikmati oleh petani, baik pada komoditas kentang maupun kubis adalah lebih rendah dari keuntungan ekonomiknya. Fenomena tersebut merupakan indikasi bahwa harga input yang dibayar petani lebih tinggi dan atau harga output yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga sosial. Artinya petani di lokasi penelitian Wonosobo mengalami disinsentif dalam memproduksi komoditas kentang maupun kubis. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang ditunjukkan oleh sebagian besar nilai koefisien DRC <1 dan PCR<1. Artinya untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah pada harga sosial dan privat diperlukan penggunaan sumber daya domestik lebih kecil dari satu. Sehingga untuk lokasi penelitian Wonosobo, Jawa Tengah akan lebih menguntungkan untuk meningkatkan produksi dalam 17 negeri dibandingkan impor. Meskipun usahatani kentang dan kubis di lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dilakukan beberapa langkah pembenahan maka tidak akan dapat mewujud dalam keunggulan kompetitif, terutama jika orientasinya adalah pasar ekspor. Untuk orientasi substitusi impor, kondisinya rawan karena petani mengalami disinsentif dalam berusahatani kentang dan kubis. Jika kondisi disinsentif tersebut berlangsung permanen dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun mendatang, barangkali pengusahaan komoditas kentang dan kubis di lokasi yang diteliti tidak akan berkelanjutan. Nurmalina dan Ameriana 1995 dalam penelitiannya mengenai efisiensi penggunaan faktor produksi dalam usahatani kubis ditingkat petani, yang menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Terdapat delapan Variabel yang mempengaruhi produksi kubis, antara lain bibit, tenaga kerja, ZA, TSP, KCl, pupuk kandang, insektisida, dan fungisida. Diantara beberapa input yang berpengaruh terhadap fungsi produksi kubis adalah pupuk KCl dengan nilai elastisitas sebesar 0,19 dan ZA sebesar 0,65 yang menunjukkan pengaruh nyata. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, ternyata penggunaan pupuk ZA dan KCl belum efisien sehingga perlu ditingkatkan penggunannya. Menurut Karmina dan Aisyah 2008 yang melakukan penelitian mengenai optimalisasi lahan usahatani tomat dan mentimun dengan kendala tenaga kerja pendekatan program linier. Penggunaan tenaga kerja terbesar pria untuk komoditas tomat terjadi pada bulan Februari karena sebagian besar responden melakukan kegiatan pengolahan lahan dan perempuan terjadi pada bulan Maret, sedangkan untuk mentimun penggunaan tenaga kerja pria dan perempuan terbesar terjadi pada bulan April. Luas lahan optimal untuk komoditas tomat dan mentimun adalah satu hektar. Rata-rata lahan yang dimiliki responden untuk komoditas tomat sebesar 0,43 hektar dan untuk komoditas mentimun sebesar 0,38 hektar. Luas lahan yang diusahakan responden masih lebih rendah dibandingkan dengan luas lahan optimal yang dapat di capai oleh responden dengan tenaga kerja yang tersedia. Luas lahan optimal tersebut dapat di capai responden jika melakukan peningkatan luas lahan ekstensifikasi pertanian. 18 Produksi Kentang di Indonesia Tanaman kentang Solanum tuberosum L. merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum L. Beukema, 1977. Kentang memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut "kentang" pula. Umbi kentang sekarang telah menjadi salah satu makanan pokok penting di Eropa walaupun pada awalnya didatangkan dari Amerika Selatan Peru, Chili, Bolivia, dan Argentina serta beberapa daerah Amerika Tengah. Penjelajah Spanyol dan Portugis pertama kali membawa ke Eropa dan mengembangbiakkan tanaman ini pada abad 17. Dengan cepat menu baru ini tersebar di seluruh bagian Eropa. Dalam sejarah migrasi orang Eropa ke Amerika, tanaman ini pernah menjadi pemicu utama perpindahan bangsa Irlandia ke Amerika pada abad ke-19, di kala terjadi wabah penyakit umbi di daratan Irlandia yang diakibatkan oleh jenis jamur yang disebut ergot11. Masuknya tanaman kentang di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada tahun 1794 tanaman kentang ditemukan telah ditanam di sekitar Cisarua Kabupaten Bandung dan pada tahun 1811 tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali, dan Flores. Di Jawa daerah-daerah pertanaman kentang berpusatdi Pangalengan, Lembang, dan Pacet Jawa Barat, Wonosobo dan Tawangmangu Jawa Tengah, serta Batu dan Tengger Jawa Timur. Kentang termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropika dan subtropika, dapat tumbuh pada ketinggian 500 sampai 3000 m di atas permukaan laut, dan yang terbaik pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Tanaman kentang dapat tumbuh baik pada tanah yang subur, mempunyai drainase yang baik, tanah liat yang gembur, debu atau debu berpasir. Tanaman kentang toleran terhadap pH pada selang yang cukup luas, yaitu 4,5 sampai 8,0, tetapi untuk pertumbuhan yang baik dan ketersediaan unsur hara, pH yang baik adalah 5,0 sampai 6,5. Tanaman kentang yang ditanam pada pH kurang dari 5,0 akan menghasilkan umbi yang bermutu jelek. Di daerah-daerah yang akan ditanam 19 kentang yang menimbulkan masalah penyakit kudis, pH tanah diturunkan menjadi 5,0 sampai 5,212. Produksi Kubis di Indonesia Secara biologi, tumbuhan ini adalah dwimusim biennial dan memerlukan vernalisasi untuk pembungaan. Apabila tidak mendapat suhu dingin, tumbuhan ini akan terus tumbuh tanpa berbunga. Setelah berbunga, tumbuhan mati. Kubis termasuk dalam Kerajaan Plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Brassicales, Famili Brassicaceae, Genus Brassica, Spesies B. Oleracea, nama binomial Brassica oleracea L13. Kubis adalah komoditas semusim yang memiliki ciri khas membentuk krop. Pertumbuhan awal ditandai dengan pembentukan daun secara normal. Namun semakin dewasa daun-daunnya mulai melengkung ke atas hingga akhirnya tumbuh sangat rapat. Pada kondisi ini petani biasanya menutup krop dengan daun-daun di bawahnya supaya warna krop makin pucat. Apabila ukuran krop telah mencukupi maka kubis siap dipanen. Kubis, kol, kobis, atau kobis bulat adalah nama yang diberikan untuk tumbuhan sayuran daun yang populer. Tumbuhan dengan nama ilmiah Brassica oleracea L. Kelompok Capitata ini dimanfaatkan daunnya untuk dimakan. Daun ini tersusun sangat rapat membentuk bulatan atau bulatan pipih, yang disebut krop, kop atau kepala capitata berarti "berkepala". Kubis berasal dari Eropa Selatan dan Eropa Barat dan, walaupun tidak ada bukti tertulis atau peninggalan arkeologi yang kuat, dianggap sebagai hasil pemuliaan terhadap kubis liar B. oleracea Var. sylvestris. Nama "kubis" diambil dari bahasa Perancis, chou cabus harafiah berarti "kubis kepala", yang diperkenalkan oleh sebagian orang Eropa yang tinggal di Hindia-Belanda. Nama "kol" diambil dari bahasa Belanda kool. Kubis menyukai tanah yang sarang dan tidak becek. Meskipun relatif tahan terhadap suhu tinggi, produk kubis ditanam di daerah pegunungan 400 m dpl ke atas di daerah tropik. Di dataran rendah, ukuran krop mengecil dan tanaman sangat rentan terhadap ulat pemakan daun Plutella. Karena penampilan kubis 12Ibid. Hlm. 18 13Ibid. Hlm. 18 20 menentukan harga jual, kerap dijumpai petani Indonesia melakukan penyemprotan tanaman dengan insektisida dalam jumlah berlebihan agar kubis tidak berlubang-lubang akibat dimakan ulat14. Produksi Tomat di Indonesia Seluruh anggota dari genus Lycopersicon merupakan tanaman setahun atau tanaman tahunan yang berumur pendek, tanaman berupa semak, diploid dengan kromosom somatis yang berjumlah 24. Sistematika tanaman tomat menurut para ahli botani adalah Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Lycopersicon, Species Lycopersicon esculentum Mill15. Menurut sejarahnya tanaman tomat berasal dari Amerika, yaitu daerah Andean yang merupakan bagian dari negara-negara Bolivia, Chili, Colombia, Equador, dan Peru. Sejalan dengan penemuan benua Amerika, tanaman tomat juga kemudian dikenal di Eropa. Di Italia, tanaman ini dikenal sebagai tanaman yang buahnya berwarna merah, sedangkan di Eropa dikenal sebagai tanaman yang buahnya berjumlah banyak. Tomat dapat dikategorikan sebagai tanaman sayuran utama yang semakin populer keberadaannya sejak abad terakhir. Bagian yang dikonsumsi dari tanaman tersebut adalah bagian buahnya. Selain memiliki rasa yang enak, buah tomat juga merupakan sumber vitamin A dan C yang sangat baik. Disamping itu, kandungan lycopenenya sangat berguna sebagai antioksidan yang dapat mencegah perkembangan penyakit kanker. Akhir-akhir ini konsumsi tomat di negara-negara maju semakin meningkat dan sering diasosiasikan sebagai luxurious crop. Contohnya, di Israel buah tomat merupakan komoditas yang sangat penting bagi konsumen, sehingga seringkali digunakan sebagai acuan dalam menghitung indeks harga konsumen. Di negara-negara sedang berkembang tomat sudah mulai menjadi sayuran yang penting, namun orientasi petani dalam mengusahakannya masih lebih mengacu pada peningkatan produksi dibandingkan dengan peningkatan kualitas. Tomat biasanya 14Ibid. Hlm. 18 15Ibid. Hlm. 18
- Berbelanja sayur biasanya dilakukan di pasar tradisional dengan pemandangan yang cukup padat. Pergi ke pasar pun jarang menjadi opsi untuk rekreasi. Siapa sangka, saat Anda berkunjung ke Wonosobo, berbelanja sayuran bisa terasa sangat menyenangkan. Hal ini seperti yang tampak dalam unggahan akun Twitter pendakilawas. Pada video singkat berdurasi 13 detik itu tampak pasar tradisional dengan latar pemandangan Pegunungan Dieng. Para pedagang sayur berjajar di pinggir jalan dan Pegunungan Dieng tampak gagah di sana. Suasana pun terlihat sangat syahdu dengan pemandangan yang indah. "Cuman di Wonosobo belanja ke pasar sekaligus healing, pemandangannya nyeees tenan," tulis pengunggah video ini. Baca Juga Pintu Langit Sky View, Spot Terbaik Menikmati Keindahan Negeri di Atas Awan Rupanya, pasar dengan pemandangan menakjubkan itu adalah Pasar Kejajar. Pasar tradisional ini berlokasi di Serang, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Pasar ini memang terletak di jalur menuju Pegunungan Dieng sehingga tak heran kemegahannya terasa begitu dekat. Pasar ini buka sejak pukul 4 subuh hingga 3 sore. Hawa dingin juga membuat belanja ke pasar ini terasa menyenangkan. Tak heran banyak orang yang bisa belanja ke pasar sekaligus healing di sini. Video ini lantas menarik banyak perhatian warganet. Beragam komentar memenuhi unggahan ini. "Ademnya kerasa sampai sini," komentar seorang warganet. Baca Juga Meski Merebak Penyakit LSD, Penjualan di Pasar Hewan Tanjungsari Sumedang Meningkat hingga 30 Persen, Begini Kata Kepala UPTD Warganet lainnya ikut berkomentar. "Kalau pasarnya begini dijamin rajin nganter emak," ujar warganet ini. "Gegara KKN di Wonosobo jadi bawaannya kangen mulu sama Wonosobo sumpah," tulis warganet lainnya di kolom komentar. Sementara itu, hingga Kamis 25/8/2022, video ini sudah ditonton sebanyak lebih dari 50 ribu kali di Twitter.
ArticlePDF AvailableAbstractUpaya pendokumentasian sayuran lokal sangatlah penting untuk dilakukan. Hal ini disebabkan keragaman sayuran lokal yang terancam punah oleh perubahan zaman, alih fungsi lahan, dan pola konsumsi masyarakat. Paper ini mendiskusikan keragaman sayuran lokal di Kabupaten dan Kota Kediri, Jawa Timur. Metode penelitian menggunakan survey eksplorasi melalui teknik wawancara terstruktur. Daerah survey mencangkup 15 pasar tradisional yaitu Gurah, Pare, Induk Pare, Pagu, Plemahan, Ngadiluwih, Grogol, Wates, Gempengrejo, Papar, Mojo, Pahing, Setono Betek, Grosir Ngronggo dan Bandar. Responden yang diwawancarai pada saat survey adalah pedagang sayur yang menjual sayuran lokal. Total jumlah responden di 15 pasar tradisional adalah 40 orang. Data yang didapatkan dianalisis secara deskriptif menggunakan software excel. Paper ini mendokumentasikan 28 spesies dari 16 famili tanaman. Sayuran lokal yang banyak diperjualbelikan adalah kenikir, kacang panjang, kangkung dan kemangi. Sedangkan sayuran yang dijumpai sedikit diperjualbelikan adalah kucai, selada air, nangka, dan terung pokak. Sayuran lokal khas daerah tersebut adalah sintrong dan sembukan. 61% sayuran lokal yang ditemui sudah dibudidayakan, 21% dibudidayakan tetapi masih dipungut dari alam, sisanya sebanyak 18% merupakan sayuran yang masih dipungut dari alam. Sayuran yang dipungut dari alam seperti pakis, sintrong, sembukan, bambu dan lamtoro mempunyai potensi untuk didomestikasi menjadi tanaman budidaya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Jurnal Biodjati, 2 1 2017 52 SURVEY DAN PENDOKUMENTASIAN SAYURAN LOKAL DI PASAR TRADISIONAL KABUPATEN DAN KOTA KEDIRI, JAWA TIMUR Kartika Yurlisa1, Moch. Dawam Maghfoer2, Nurul Aini3, Wiwin Sumiya D. Paramyta Nila Permanasari5 1,2,3,4,5Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Diterima 21 April 2017 Disetujui 29 Mei 2017 Publish 31 Mei 2017 Korespondensi Jalan Veteran, Malang 65145 email 1kartikayurlisa2 p-ISSN 2541-4208 e-ISSN 2548-1606 Abstrak. Upaya pendokumentasian sayuran lokal sangatlah penting untuk dilakukan. Hal ini disebabkan keragaman sayuran lokal yang terancam punah oleh perubahan zaman, alih fungsi lahan, dan pola konsumsi masyarakat. Paper ini mendiskusikan keragaman sayuran lokal di Kabupaten dan Kota Kediri, Jawa Timur. Metode penelitian menggunakan survey eksplorasi melalui teknik wawancara terstruktur. Daerah survey mencangkup 15 pasar tradisional yaitu Gurah, Pare, Induk Pare, Pagu, Plemahan, Ngadiluwih, Grogol, Wates, Gempengrejo, Papar, Mojo, Pahing, Setono Betek, Grosir Ngronggo dan Bandar. Responden yang diwawancarai pada saat survey adalah pedagang sayur yang menjual sayuran lokal. Total jumlah responden di 15 pasar tradisional adalah 40 orang. Data yang didapatkan dianalisis secara deskriptif menggunakan software excel. Paper ini mendokumentasikan 28 spesies dari 16 famili tanaman. Sayuran lokal yang banyak diperjualbelikan adalah kenikir, kacang panjang, kangkung dan kemangi. Sedangkan sayuran yang dijumpai sedikit diperjualbelikan adalah kucai, selada air, nangka, dan terung pokak. Sayuran lokal khas daerah tersebut adalah sintrong dan sembukan. 61% sayuran lokal yang ditemui sudah dibudidayakan, 21% dibudidayakan tetapi masih dipungut dari alam, sisanya sebanyak 18% merupakan sayuran yang masih dipungut dari alam. Sayuran yang dipungut dari alam seperti pakis, sintrong, sembukan, bambu dan lamtoro mempunyai potensi untuk didomestikasi menjadi tanaman budidaya. Kata kunci Sayuran lokal, Kediri, Jawa Timur Abstract. The efforts to documentation local vegetables is very important because its diversity is threatened with extinction due to the changing of times, land conversion, and consumption pattern. This paper discussed about the diversity of local vegetables in District and City of Kediri, East Java. The methods of the research using exploratory surveys through structured interview techniques. The area survey covers of 15 traditional markets namely Gurah, Pare, Induk Pare, Pagu, Plemahan, Ngadiluwih, Grogol, Wates, Gempengrejo, Papar, Mojo, Pahing, Setono Betek, Induk Ngronggo and Bandar. The respondents interviewed during the survey were vegetable sellers selling local vegetables. The total number of respondents in 15 traditional markets is 40 people. The data obtained is analyzed descriptively using excell software. The paper documents 28 species of 16 plant families. Common traded local vegetables are kenikir, Jurnal Biodjati, 2 1 2017 53 kacang panjang, kangkung and kemangi. While the vegetables that are found less traded are kucai, selada air, nangka and terung pokak. The typical local vegetables of the area are sintrong and sembukan. The local vegetables approximately about 61% encountered have been cultivated, 21% cultivated but still collected from nature, the remaining 18% are vegetables that are still collected from nature. Vegetables picked from nature such as pakis, sintrong, sembukan, bambu and lamtoro have the potential to be domesticated into cultivated plants. Key words Local vegetables, Kediri, East Java Yurlisa, K., Maghfoer, M. D., Aini, N., Sumiya, W. D. Y., & Permanasari, P. N. 2017. Survey dan Pendokumentasian Sayuran Lokal di Pasar Tradisional Kabupaten dan Kota Kediri, Jawa Timur. Jurnal Biodjati, 2 1, 52-63. PENDAHULUAN Sayuran merupakan salah satu kebutuhan pangan manusia. Saat ini pertumbuhan jumlah penduduk sangat pesat sehingga diduga pada masa mendatang akan terdapat kesenjangan antara jumlah penduduk dengan kebutuhan pangan. Menurut teori Malthus, jumlah penduduk meningkat secara geometris deret ukur, sedangkan produksi pangan meningkat secara arismatik deret hitung Rosyetti, 2009. Terkait dengan kebutuhan pangan yang terus meningkat, maka diperlukan upaya peningkatan pemanfaatan terhadap keanekaragaman tanaman untuk memenuhi kebutuhan manusia Pugalenthi et al., 2005. Diantara keanekaragaman pangan yang terdapat di Indonesia, maka sayuran lokal merupakan sumber pangan yang berpotensi dapat memenuhi kebutuhan gizi manusia. Keanekaragaman sayuran merupakan kekayaan biodiversitas yang sangat penting dalam kehidupan. Kanekaragaman sayuran merepresentasikan sumber makanan, pakan, obat-obatan dan banyak produk lainnya dalam kehidupan di bumi. Indonesia memiliki nutrisi kekayaan sayuran dengan kandungan nutrisi tinggi, bermanfaat bagi kesehatan dan berpotensi secara ekonomi. Sayuran dapat didefinisikan sebagai tanaman sukulen atau bagian dari tanaman yang dikonsumsi sebagai pelengkap makanan, dengan bahan karbohidrat, biji-bijian atau umbi Grubben et al., 1994. FAOSTAT 2007 mendefinisikan bahwa sayuran mengandung 70-95% air, yang pada umumnya ringan ketika dikeringkan. Sayuran lokal merupakan sayuran asli daerah yang telah banyak diusahakan dan dikonsumsi sejak zaman dahulu atau sayuran introduksi yang telah berkembang lama dan dikenal masyarakat di suatu daerah tertentu Suryadi dan Kusamana, 2004. Sayuran lokal mempunyai harga yang relatif murah, dan secara tradisional sayuran lokal merupakan salah satu komponen pola tanam, serta pemanfaatannya oleh petani memiliki keunggulan yang komparatif Marsh, 1998. Sayuran lokal merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia yang dikenal sebagai Mega Biodiversity Country. Mempertimbangkan arti penting sayuran sebagai bahan pelengkap makanan utama, maka sayuran ini dapat dieksploitasi pada tingkat komersial. Kandungan nutrisi yang beragam seperti vitamin A, B, C, kalium, besi, protein dan senyawa antioksidan mengindikasikan bahwa budidaya dan konsumsi dari sayuran dapat Jurnal Biodjati, 2 1 2017 54 membantu dalam menghadapi malnutrisi di Indonesia Becker, 2003 ; Madalla et al., 2013. Meningkatnya kebutuhan akan pangan yang bergizi tinggi, maka kegiatan koleksi dan pemanfaatan dari sayuran lokal menjadi penting untuk dilakukan agar sayuran tersebut tidak punah oleh perubahan zaman, alih fungsi lahan maupun pola konsumsi masyarakat. Informasi tersebut sangat penting untuk meletakkan dasar informasi sebagai pedoman pola konsumsi untuk komunitas daerah tersebut, menerapkan teknologi budidaya untuk mendukung keamanan pangan dan untuk menentukan potensi kandungan fitokimia dan farmasi. Indonesia memiliki kurang lebih jenis tumbuhan yang diantaranya terdiri dari 250 jenis sayuran, jenis jamur, jenis tumbuhan paku, 150 jenis bambu dan rotan serta lainnya Abrori, 2016. Keanekaragaman ini tersebar pada seluruh provinsi termasuk di Jawa Timur. Kabupaten dan Kota Kediri merupakan kawasan dengan pengembangan pertanian yang cukup pesat di Jawa Timur. Beberapa kecamatan di Kediri telah ditetapkan sebagai kawasan agropolitan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kediri Tahun 2010 dan Masterplan Agropolitan Kabupaten Kediri Tahun 2006, maka salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan Agropolitan Pakancupung dengan komoditas unggulan berupa sayuran adalah kecamatan Pare, Kandangan, Puncu dan Kepung Sari dan Santoso, 2016. Daerah Kediri yang sebagian besar merupakan dataran rendah ±67 m dpl menyediakan berbagai tanaman yang sebagian telah dimanfaatkan secara turun-temurun sejak nenek moyang sebagai sayuran. Sayuran tersebut dapat dikategorikan sebagai sayuran lokal. Seiring perubahan zaman, alih fungsi lahan, dan pola konsumsi masyarakat maka keberadaan sayuran lokal mulai langka. Sayuran tersebut pada umumnya masih dipungut langsung dari alam untuk dikonsumsi sendiri atau diperjualbelikan di pasar tradisional. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya konservasi genetik sayuran lokal perlu dilakukan yaitu melalui usaha budidaya pertanian. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai sayuran lokal yang diperjualbelikan oleh para pedagang sayur di pasar tradisional Kabupaten dan Kota Kediri, Provinsi Jawa Timur. Penelitian merupakan bagian dari penelitian pendahuluan mengenai potensi sayuran lokal Provinsi Jawa Timur. BAHAN DAN METODE Metode penelitian yang digunakan adalah survey eksplorasi melalui teknik wawancara terstruktur menggunakan kuesioner yang disajikan secara lisan. Kegiatan survey dilakukan pada bulan Februari-Maret 2017. Daerah Penelitian Kabupaten dan Kota Kediri, Provinsi Jawa Timur dipilih sebagai area penelitian, daerah ini terletak pada 07036’12’’ – 800’32’’ LS, 111047’05’’- 112018’20’’ BT dan ketinggian ± 67 m dpl Pemkab. Kediri, 2016 Gambar 1. Area penelitian terdiri dari perbukitan dan pegunungan dengan lembah kecil dan dataran, luas dari area adalah 1449,4 km2. Suhu udara berkisar antara 23-31oC. Lokasi survey mencangkup 15 pasar tradisional Kabupaten dan Kota Kediri Tabel 1. Pemilihan lokasi berdasarkan sebaran lokasi pasar dan keberagaman tingkatan pasar. Sasaran responden adalah para pedagang sayuran lokal. Data yang dikumpulkan meliputi nama lokal, bagian sayuran yang Jurnal Biodjati, 2 1 2017 55 dijual, asal sayuran dibudidayakan atau dipungut dari alam. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Sayuran yang diperoleh didokumentasikan dengan kamera dan juga dilakukan pengambilan sampel sayuran untuk keperluan identifikasi tanaman. a b a b Gambar 1. Peta lokasi dari area penelitian yang menunjukkan area survey a Kota Kediri dan b Kabupaten KediriTabel 1. Lokasi dan nama pasar tradisional yang dijadikan tempat penelitian Jurnal Biodjati, 2 1 2017 56 Pengumpulan Data Sebelum melakukan penelitian, observasi pre-eliminari dan acak dilakukan. Kuisioner terbuka dengan pedagang sebagai responden disusun untuk mendapatkan data kualitatif sayuran lokal. Kualifikasi responden adalah para pedagang sayuran yang menjual sayuran lokal atau mayoritas menjual sayuran lokal pada saat kegiatan survey dilakukan. Total responden berjumlah 40 orang yang tersebar pada 15 pasar Tabel 1. Informasi terkait grup umur, jenis kelamin, status pernikahan, dan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Data responden yang diwawancarai di lokasi penelitian Jumlah responden yang diwawancarai Identifikasi Spesies Tanaman Sampel sayuran lokal yang diperjualbelikan di pasar dikumpulkan dari area penelitian, kemudian dibawa ke laboratorium dan diindentifikasi menggunakan pustaka buku determinasi menggunakan buku determinasi pedoman pustaka Flora of Java Volume I, II, III Backer dan Bakhuzein Van den Brink ,1968, A Practical Field Guide to Weeds of Rice in Asia Caton et al., 2010, dan Weed Identification Naidu, 2012. Kemudian dilakukan pendataan bentuk tumbuh tanaman. Analisis Data Analisis data frekuensi sitasi dilaporkan sebagai persentase dan proporsi. Tiap tanaman yang didapatkan dari responden yang termasuk sebagai sayuran lokal dihitung sebagai frekuensi sitasi. HASIL Arti Penting Tanaman dan Keanekaragaman Tanaman Hasil observasi langsung di pasar tradisonal memperlihatkan bahwa keragaman sayuran lokal Kediri yang diperjualbelikan tergolong tinggi >20 spesies tanaman. Hasil survey dan wawancara disusun dalam tabel berdasarkan susunan alfabet nama famili tanaman. Inventarisasi detailnya meliputi nama ilmiah, nama lokal, famili tanaman, bentuk tumbuh tanaman dan bagian tanaman yang dijual. Daftar sayuran lokal yang diperjualbelikan dan dikonsumsi di Kabupaten dan Kota Kediri disajikan pada Tabel 3. Jurnal Biodjati, 2 1 2017 57 Tabel 3. Daftar sayuran lokal yang diperjualbelikan dan dikonsumsi di Kabupaten dan Kota Kediri Bagian sayuran yang dijual Crassophecephalum crepidiodes Sechium edule Jacq. Swartz Luffa acutangula L. Roxb. Arcypteris irregularis C. Presl Ching Psophocarpus tetragonolobus Jurnal Biodjati, 2 1 2017 58 Penelitian mendokumentasikan 28 spesies sayuran lokal milik 16 famili tanaman. Dokumentasi keragaman sayuran lokal di Kabupaten dan Kota Kediri disajikan pada Gambar 2. Jurnal Biodjati, 2 1 2017 59 Gambar 2. Dokumentasi keanekaragaman sayuran lokal di pasar tradisional Kabupaten dan Kota Kediri. Sayuran Lokal Berdasarkan Daur Hidup Tanaman Berdasarkan daur hidup tanaman, 61% dari tanaman yang ditemui pada penelitian termasuk tanaman semusim, sedangkan 39% termasuk tanaman tahunan Gambar 3. Gambar 3. Diagram persentase daur hidup sayuran lokal Asal Sayuran Lokal yang Diperjualbelikan Diantara sayuran lokal yang diperjualbelikan didapatkan 61% sayuran lokal yang dijual berasal dari pembudidayaan. Sebanyak 21% berasal dari pembudidayaan dan juga masih dipungut dari alam. Sisanya sebanyak 18% sayuran langsung dipungut dari alam, tanpa proses pembudidayaan Gambar 4. Gambar 4. Diagram persentase pembudidayaan sayuran lokal Bagian Tanaman yang Dijual Masyarakat daerah tersebut mengkonsumsi sayuran lokal dalam bentuk bunga, buah, batang, daun, biji dan polong. Bagian tanaman sayuran yang paling sering dijual berupa daun 36% dan diikuti oleh buah 25%, batang 22%, bunga 6%, polong 6% dan biji 6%. Diagram persentase bagian tanaman yang dijual disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Diagram persentase bagian tanaman yang dijual PEMBAHASAN Eksplorasi intensif dengan tujuan untuk pengumpulan informasi dan pendokumentasian sayuran lokal telah dilakukan selama 2 bulan dari Februari-Maret 2017 di 15 pasar tradisional Kabupaten dan Kota Kediri. Informasi dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur menggunakan kuisioner. Responden penelitian terdiri dari 40 informan 87,5% responden merupakan penduduk asli daerah tersebut, dan sisanya sebanyak 12,5% merupakan pendatang. Responden pada penelitian ini mayoritas 61% 39% TanamanSemusimTanamanTahunan61% 18% 21% DibudidayakanDipungut darialamDibudidayakandan dipungutdari alam5% 25% 22% 36% 6% 6% BungaBuahBatangDaunBijiPolong Jurnal Biodjati, 2 1 2017 60 adalah penduduk asli daerah tersebut. Dengan harapan penduduk asli lebih banyak mempunyai pengetahuan tentang sayuran lokal daerah tersebut. Responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 6 orang dan perempuan sebanyak 34 orang. Mayoritas responden berjenis kelamin perempuan 85% dari total. Hal ini menjadi penting, karena perempuan lebih mempunyai ketertarikan pada sayuran lokal. Semua responden sudah berkeluarga, berusia antara antara 32 dan 81 tahun, yang didominasi oleh responden yang berusia 41-60 tahun 57,5%. Dengan tingkat pendidikan terakhir dari responden yaitu 45% menempuh Sekolah Dasar SD dan 22, 5% menempuh Sekolah Menengah Akhir SMA, juga ditemukan masih terdapat 10% dari responden yang tidak menempuh pendidikan formal Tabel 2. Hubungan antara tanaman dan manusia sangat kuat dan tidak dapat dipisahkan, dapat dikatakan hubungan antara keduanya sebagai ketergantungan. Keanekaragaman tanaman menunjukkan kekayaan ekonomi dari suatu daerah. Pemanfaatan dan kegunaan dari tanaman tersebut berhubungan dengan arti penting tanaman di daerah tersebut Arshad et al., 2014; Amjad dan Arsyad, 2014. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa masyarakat dari daerah penelitian tidak bergantung pada sayuran lokal untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Beberapa sayuran lokal sulit untuk ditemui di sebagian besar pasar. Walaupun beberapa pasar memiliki keanekaragaman sayuran lokal yang tinggi, sebagai contohnya pasar tradisional Wates, yang terletak di daerah Kabupaten Kediri. Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang, didapatkan bahwa daerah tumbuh sayuran lokal berasal dari pedesaan. Di desa, sayuran tersebut lebih mudah ditemukan dan bernilai ekonomis rendah. Karena nilai ekonomis yang rendah, sayuran tersebut kurang mendapat perhatian. Adapun pedagang yang memperjualbelikan sayuran lokal di perkotaan mengharapkan adanya nilai tambah ekonomi pada sayuran tersebut, dibandingkan ketika dijual di desa. Pola konsumsi masyarakat perkotaan sekarang yang lebih menyukai sayuran kultivasi seperti kol, wortel dan lain-lain, membuat sayuran lokal terpinggirkan. Adapun keterbatasan lahan di daerah perkotaan menjadikan sayuran tersebut terbatas tempat tumbuhnya. Sehingga jarang ditemui sayuran lokal yang dibudidayakan di daerah perkotaan. Hasil penelitian mendokumentasikan 28 spesies sayuran lokal milik 16 famili tanaman, sayuran tersebut dimanfaatkan sebagai pendamping makanan utama. Sayuran lokal dari hasil penelitian ini dapat mencerminkan besarnya keanekaragaman flora Kabupaten dan Kota Kediri. Keanekaragaman jenis sayuran lokal yang diperjualbelikan tergolong tinggi. Pasokan sayuran cenderung stabil dikarenakan sebagian besar sayuran lokal sudah dibudidayakan petani. Sebagian sayuran masih bergantung dengan kondisi curah hujan. Sehingga ada beberapa sayuran yang lebih mudah ditemui pada saat musim penghujan dibandingkan pada musim kemarau. Dari data frekuensi sitasi dapat terlihat bahwa sayuran lokal yang paling banyak diperjualbelikan adalah kenikir 24, kacang panjang 24, kangkung 23 dan kemangi 16. Sedangkan sayuran yang dijumpai paling sedikit diperjualbelikan adalah kucai 1, selada air 1, nangka 1 dan terung pokak 1. Jenis sayuran yang khas yang ditemui pada penelitian ini adalah sintrong dan sembukan. Kedua sayuran yang khas tersebut biasanya dikelompokkan pada tanaman gulma gulma adalah tanaman tanaman kompetitor dan inang organisme pengganggu tanaman. Ternyata di daerah Kabupaten Kediri, tanaman tersebut termasuk sayuran yang biasa dikonsumsi dan dapat memberikan manfaat pada kesehatan. Langkah selanjutnya perlu dilakukan investigasi pada pemanfaatan sayuran dan kandungan komponen fitokimia tanaman Jurnal Biodjati, 2 1 2017 61 tersebut. 61% dari tanaman yang ditemui pada saat survey termasuk tanaman semusim, sedangkan 39% termasuk tanaman tahunan Gambar 3. Diantara sayuran tersebut didapatkan 61% sayuran lokal yang dijual berasal dari pembudidayaan. Sebanyak 21% berasal dari pembudidayaan dan juga masih dipungut dari alam, sisanya sebanyak 18% sayuran langsung dipungut dari alam, tanpa proses pembudidayaan Gambar 4. Sebagian besar tanaman dapat ditemukan dengan mudah di sekitar rumah, menunjukkan bahwa daerah penelitian kaya dalam biodiversitasnya. Pembudidayaan sayuran lokal bukan hanya bertujuan sebagai konservasi tanaman, tapi juga menjadikan sayuran tersebut lebih mudah untuk dikumpulkan. Sebagai tambahan, pada umumnya tanaman yang dibudidayakan dipekarangan rumah adalah tanaman yang sering digunakan oleh penduduk daerah tersebut Zheng dan Xing, 2009. Masyarakat setempat mengkonsumsi sayuran tersebut dalam bentuk bunga, buah, batang, daun, biji dan polong. Bagian tanaman sayuran lokal yang paling sering dimanfaatkan berupa daun 36% dan diikuti oleh buah 25%, batang 22%, bunga 6%, polong 6% dan biji 6%. Dalam beberapa kasus, lebih dari satu organ tanaman di satu macam spesies tanaman, seperti daun dan batang, dikonsumsi sebagai sayuran. Hasil penelitian kami ini sejalan dengan beberapa survey yang menunjukkan bahwa daun adalah bagian sayuran yang sering dikonsumsi Susanti, 2015; Chotimah et al., 2013. Daun juga merupakan bagian yang paling dominan digunakan dibandingkan lainnya, karena bagian tanaman ini lebih mudah dikumpulkan dibandingkan bagian tanaman lain, buah dan bunga dan lain-lain Giday et al., 2009. Dan dalam pandangan ilmiah, daun merupakan tempat fotosintesis dan tempat produksi dari metabolit sekunder Ghorbani, 2005. Selain itu, alasan penting lainnya bahwa mengkonsumsi daun merupakan upaya untuk mengkonservasi tanaman, semisalnya kita mengunakan bagian akar akan menyebabkan tanaman tersebut mati dan menempatkan spesies tanaman tersebut dalam kondisi terancam kepunahan Kadir et al., 2012. Usaha budidaya sayuran lokal juga harus memperhatikan kajian ekosistem dimana tanaman tersebut tumbuh berkembang secara alami. Kajian mengenai karakteristik tumbuh tanaman pada habitat alami, pH, komposisi media tanam, dan unsur hara harus dilakukan terlebih dahulu sebelum penanaman dilakukan. Kajian tersebut akan mempengaruhi teknologi budidaya yang digunakan dan modifikasi lingkungan tumbuh. Kemungkinan tanaman sayuran lokal menjadi gulma atau tanaman kompetitor dan inang organisme pengganggu tanaman juga harus mendapat perhatian khusus dalam rangka menciptakan lingkungan budidaya yang sehat. Usaha budidaya sayuran lokal juga harus memperhatikan aspek agribisnis agar dapat menambah nilai jual, jumlahnya sesuai permintaan pasar, dan pasokannya stabil. Harga jual di pasar dari semua sayuran lokal yang ditemukan berkisar di bawah Harga sayuran lokal tertinggi adalah komoditas kemangi Rp. Keberadaan sayuran lokal di pasar dengan harga yang relatif rendah dibandingkan sayuran kultivasi menunjukkan bahwa sayuran lokal dapat digolongkan sebagai sayuran minor. Informasi tentang pemanfaatan sayuran lokal di Kabupaten dan Kota Kediri, Provinsi Jawa Timur, untuk pertama kalinya telah dikumpulkan dan didokumentasikan melalui penelitian ini. Penelitian kami menunjukkan bahwa sebagian besar sayuran lokal adalah pelengkap makanan utama untuk masyarakat di Kabupaten dan Kota Kediri. Hasil dari penelitian merepresentasikan informasi tentang Jurnal Biodjati, 2 1 2017 62 sayuran lokal, yang dapat berkontribusi memelihara kearifan lokal dan diharapkan dapat menarik minat generasi muda dalam pemanfaatan sayuran lokal. Hasil penelitian telah mendokumentasikan 28 spesies dari 16 famili tanaman. Penelitian juga diharapkan dapat menciptakan kepedulian antara masyarakat daerah Kabupaten dan Kota Kediri tentang arti penting dari sayuran lokal dan upaya konservasinya. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada KEMENRISTEKDIKTI yang telah membiayai penelitian ini melalui program Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi -Universitas Brawijaya. Kami juga mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Amalia Azizah Ally selama pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Abrori, M. 2016. Keanekaragaman tumbuhan bawah di Cagar Alam Manggis Gadungan Kecamatan Puncu Kabupaten Kediri. Skripsi, Universitas Islam Negeri, Malang. Amjad, M. S., & Arshad, M. 2014. Ethnobotanical inventory and medicinal uses of some important woody plant species of Kotli, Azad Kashmir, Pakistan. Asian Pac. J. Trop. Biomed 4, 12, 952-958. Arshad M., Ahmed M., Ahmed E. Saboor A., Abbas A., & Sadiq, S. 2014. An ethnobotanical study in Kala Chitta Hills of Pothwar Region. Pakistan Multinomial logit specification. J. Ethnobiol Erhnomed, 10, 13. Becker, K., Afuang W., & Siddhuraju, P. 2003. Comparative nutritional evaluation of raw, methanol extracted residues and methanol extracs of moringa Moringa oleifera Lam. leaves on growth performance and feed utilization in Nile Tilapia Oreochromis niloticus L.. Aquaculture Research 34, 13, 1147-1159. Caton, B. P., Mortimer, M., Hill, & Johnson, D. E. 2010. A practical field guide to weeds of rice in Asia. Philippines International Rice Research Institute Chotimah, H. E. N. C., Kresnatita, S. & Miranda, Y. 2011. Studi etnobotani sayuran indigenous lokal Kalimantan Tengah. Jurnal Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo. Solo. FAOSTAT. 2007. Food agriculture organization corporate statiscal database FAOSTAT on-line, United Nation Food and Agriculture Organization, Rome. Retrieved from. Ghorbani, A. 2005. Studies on pharmaceutical ethobotany in region of Turkmen Sahra, North of Iran Part 1 General Results. J. Ethnopharmacol, 102, 58-68. Giday, M., Astaw Z., & Woldu Z. 2009. Medicinal plants of the Meinit ethnic group of Ethiophia an ethnobotanical study. J. Ethnopharmacol, 124, 513-521. Grubben, G. J. H., Siemonsma, & Kasem, P. 1994. Introduction to plant resources of South-East Asia 8 vegetables. Bogor PROSEA Foundation. Kadir, M. F., Bin Sayeed, M. S., & Mia, M. M. K. 2012. Ethnopharmacological survey of medicinal plants used by indigenous and tribal people in Rangamati, Bangladesh. J. Ethnopharmacol, 144, 627-637. Madalla, N., Agbo, & Jauncey, K. 2013. Evaluation of aqueous extracted moringa leaf meal as a protein source for Jurnal Biodjati, 2 1 2017 63 Nile Tilapia Juveniles. Tanzania Journal of Agricultura Science, 12, 1, 53-64. Marsh, R. 1998. Building on traditional gardening to improve household food security. Food Nutr Agric., 22, 4-14. Naidu, V. S. G. R. 2012. Hand book on weed identification. directorate of weed science research. India Jabalpur. Pugalenthi, M., Vadivel, V., & Siddhuraju, P. 2005. Alternative food/feed perspectives of an underutilized legume Mucuna pruriens Var. Utilis – a review. Plants Foods for Human Nutrition, 60, 201-218. Kuantan Singing. Jurnal Ekonomi, 17, 2,51-63. Sari, D. & Santoso, 2016. Faktor- faktor yang mempengaruhi pengembangan Kabupaten Kediri. Jurnal Teknik, 5, 1, 64- Susanti, H. 2015. Ethnobotanical study for swamp Lokal vegetables at Martapura Market of South Kalimantan. Ziraa’ah, 40, WCMC. 1992. Global biodiversity status of the earth’ living resources – world conservation monitoring centre. New York Chapman and Hall. Zheng, X., & Xing, F. 2009. Ethnobotanical study on medicinal plants around Mt. Yinggeling, Hainan Island, China. J. Ethnopharmacol, 124, 197-210. ... Kajian etnobotani yang membahas mengenai peran pasar tradisional, berdasarkan survei Martinez dikutip Hakim 2014, menjadi kategori kajian etnobotani yang paling sedikit dilakukan. Beberapa studi mengenai hal itu, diantaranya studi Yurlisa et al. 2017 yang mendokumentasikan ragam sayuran lokal di pasar tradisional. Pada studi itu, peneliti menemukan bahwa pasar merupakan tempat yang tepat untuk mendapat berbagai informasi terkait jenis sayuran yang diperjualbelikan. ...... Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat 32 jenis tanaman rempah yang diperjualbelikan di pasar Warungkondang. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman tanaman bumbu rempah yang dijual di Pasar Warungkondang tergolong tinggi karena melebihi 20 spesies tanaman Yurlisa et al., 2017. Jenis tanaman yang paling banyak diperdagangkan berasal dari famili Zingiberaceae cikur, honje, jahe, koneng dan laja dan Alliaceae bawang-bawangan. ...... Banyak spesies yang dapat kita amati bahkan kita pelajari dipasar, salah satunya adalah ikan. Begitu pula menurut Yurlisa et al., 2017, besarnya keanekaragaman flora yang diperjualbelikan di pasar tergolong tinggi. ...Poppy Antika SariKasrina KasrinaAbas Abas Anggita Dwi OktavianiThis study aims to inventory and classify fish diversity in the Bengkulu traditional market. The research method used is descriptive qualitative. The data obtained were tabulated and analyzed descriptively, then a literature study was conducted for identification. Sample collection was carried out using the exploration method by tracking every trader selling fish in the market. The results showed that there were 55 fish species belonging to 43 genera, 31 families and 9 orders. In conclusion, the order Perciformes with the family Carangidae and the Genus Lutjanus is the most common group of fish found in the Bengkulu traditional market. Keywords Pocket Book, Sea Fish, Traditional Market, Learning Resources... Diversity and availability of goods in traditional markets are high Ela et al. 2016, in the forms of dry food, wet food products, and industrial products. In traditional markets, there are also agricultural commodities such as staple food, including rice Yurlisa et al. 2017. Traditional markets have various local potentials that are used by residents to market agricultural products, namely vegetables and plantation crops Kharisma 2014. ...Deanova AK, Pristiawati CM, Aprilia D, Solikah I, Nurcahyati M, Liza N, Partasasmita R, Setyawan AD. 2021. Title. Biodiversitas 22 4095-4105. Market is one of the most important economic sectors in a country. One type of market is a traditional market that is synonymous with squalid, overcrowded and slum conditions. However, traditional markets provide essential commodities that are relatively cheaper and fresher than modern markets. The purpose of this research was to record the diversity of species and varieties of edible plants traded in Ir. Soekarno Market, a traditional market in Sukoharjo District. Plant commodities observed were vegetables, spices, fruits, and staples sold by the sellers in this market. The method used in this research was qualitative based on the ethnobotany approach. Meanwhile, to collect primary data, several field techniques were used, namely direct observation such as market commodity surveys, trader observations, and trader interviews. The direct survey results showed that the edible plant commodities consisted of 105 plant species representing 28 families. The variations found included 9 types of rice, 4 types of onions, 7 types of bananas, and 9 types of beans. The decline in the number of traded commodities and the lack of visitors was due to the increase in COVID-19 cases in Sukoharjo and disputes between traders and local government. Thus until recently, Ir. Soekarno Market, which was originally the main market full of visitors, became a market that was empty of visitors and traders.... In the scientific view, leaves are the site of photosynthesis and the place of production of secondary metabolites. Besides that, consuming leaves is an effort to conserve plants, if consuming part of the root will cause the plant die, so that, the plant species can be threatened with extinction Yurlisa et al., 2017. Parts of the plant are used as vegetables, food seasonings, food coloring, and medicine. ...Hanin Niswatul FauziahWidya Retno PutriRiya MayangsariBagus Sapto RaharjoSince Covid-19 pandemic government requires all educational institution to apply online learning. Therefore, they must be able to use local potential as a learning source as much as possible. One of the local potentials used as a learning source is implementing an inventory of family foodstuffs. This research aimed to determine the type of foodstuff consumed by the biology college student’s families in the Covid-19 pandemic and how to integrate it into the biology learning of biodiversity concept. Data were collected by observing the foodstuffs of 28 biology college students’s families. Every college student recorded the food consumed by his family for two weeks. The data were foodstuffs name, part of foodstuffs consumed and its benefits. Consumed foodstuffs will be sampled, photographed, and identified up to the family level. Foodstuff for every college student’s family were tabulated into Microsoft Excel and collected into class data and then analyzed descriptively. Results showed there were 2 types of foodstuffs consumed by the biology student’s families namely vegetable and animal foodstuff. The most consumed vegetables during the Covid-19 pandemic came from Fabaceae of 15 species and the most consumed animal came from Bovidae of 2 species. Inventory of family foodstuffs during Covid-19 pandemic can be used as a biology learning source of biodiversity. After knowing the taxa of each foodstuff, college students ccould categorize the level of biodiversity. Integrating the environment as a learning source make learning more applicable, varied, interesting, and easier for college students to understand the material being studied.... If the lalapan consumed are not available in rice fields, gardens, yards or forests, then people buy it at a stall. Yurlisa et al. stated that 61% of local vegetables in the traditional market that can be used as lalapan have been The most widely used plant parts are leaf buds of four species, leaves of 32 species, fruit of 16 species and rhizomes, tubers and flowers from one species each,Fig. ... Tri CahyantoAteng SupriyatnaMar’atus SholikhaDeasy RahmawatiPlants are used by most of the Sundanese ethnic community as food products, these are known as lalapan known as fresh vegetables. Lalapan includes parts of the plant such as roots, stems, leaves, fruits, flowers, seeds or other parts that are consumed raw, boiled or steamed without any additional seasoning, or used as flavor enhancers to complement foods like rice, and usually eaten with sambal Chili Sauce. Information on the types of plants used as lalapan are still limited and tend not to be inherited by the next generation. The purpose of this study was to investigate the types and parts of plants used as lalapan. This research applied an explorative survey method with observations and interview techniques conducted from June to October 2017. The sample of this research was 400 respondents obtained from 35 villages in eight selected subdistricts from among 253 villages and 30 districts in Subang Regency, West Java Province, which were randomly determined by a two stage cluster sampling technique. The obtained data were analyzed descriptively. Results of the research showed that there were 50 species of plants discovered, grouped into 19 families, used as lalapan. The most widely used plant family was Asteraceae, with nine species. Parts of plants mostly used as lalapan were leaves, fruits, shoots, stems, flowers, rhizomes and tubers. The leaf is most widely used as a fresh Setya PutraAhmad RidwanSigit Winarto Agata IwanThe increasing number of tourist attractions and airport construction in the city of Kediri will impact the rising number of visitors from outside the city. The availability of adequate accommodation to accommodate the number of visitors who will come to the town of Kediri is essential. Kediri City Guest House Building is one of the solutions to the problem of availability of accommodation in the City of Kediri going forward. Calculations carried out in this study regarding the structure of the 6-story Guest House building design using software. The results of the standard frame elements in the structure column model with the appropriate dimensions and materials included in the plan drawing. The column section frame has dimensions 600x600 cm and diameter 600 cm. The wall load value is distributed to all frames holding the wall in the form of a uniform load of 250 kg/m2 as planned, the height of the stairs is 2 m, and the length is flat is m. Thus, the calculation results obtained the number of stomps of 10 pcs and the number of climbs of 10 pcs with a width of 61cm stairs, aantrade horizontal 25 cm, and optrade up 20 cm. Bertambahnya jumlah tempat Wisata dan pembangunan Bandara di Kota Kediri akan berdampak pada bertambahnya jumlah pengunjung dari luar Kota. Ketersediaan akomodasi yang mencukupi untuk menampung jumlah pengunjung yang akan datang ke Kota Kediri sangat diperlukan. Gedung Guest House Kota Kediri menjadi salah satu solusi pada permasalahan ketersediaan akomodasi kedepannya. perhitungan yang dilakukan Pada penelitian ini mengenai perencanaan struktur bangunan Guest House 6 lantai dengan menggunakan software Hasil elemen frame biasa pada model kolom struktur dengan dimensi dan material yang sesuai telah dicantumkan dalam gambar rencana. Frame section kolom tersebut berdimensi 600 x 600 Cm dan diameter 600 Cm. Nilai beban dinding didistribusikan ke seluruh frame yang menahan dinding dalam bentuk beban merata uniform load sebesar 250 kg/m2 seperti rencana tinggi tangga adalah 2 m dan panjang datar adalah 2,5 m. Secara perhitungan diperoleh hasil jumlah injakan 10 bh dan jumlah tanjakan 10 bh dengan lebar tangga 61cm, aantrade mendatar 25 cm, dan optrade naik 20 cm. Firmansyah SaputraP SurjowardojoIrdafThe purpose of the study is to observe the status of morning temperature and humidity of the dairy cows’ living environment. The collected data were temperature and humidity measured with dry and wet bulb thermometers. These primary data were processed using THI equation which was specific for dairy cow and classified into six classes based on THI index 1 comfort; 2 mild discomfort; 3 discomfort; 4 alert; 5 danger; and also 6 emergency. The data then analyzed and explained using descriptive analysis. As a result, the environment’s temperature and humidity were not suitable for the dairy cows. Out ofthirty-one observation days, dairy cow suffered 24 times discomfort, six times alert, and twice mild discomfort. The lowest temperature was 22 ⁰ C while the highest was 26 ⁰ C. Meanwhile, the minimum humidity value 80% and maximum of 95%. It can be concluded that morning temperature and humidity in the study area were not suitable for the dairy paper constitutes an important ethnobiological survey in the context of utilizing biological resources by residents of Kala Chitta hills of Pothwar region, Pakistan. The fundamental aim of this research endeavour was to catalogue and analyse the indigenous knowledge of native community about plants and animals. The study is distinctive in the sense to explore both ethnobotanical and ethnozoological aspects of indigenous culture, and exhibits novelty, being based on empirical approach of Multinomial Logit Specifications MLS for examining ethnobotanical and ethnozoological uses of specific plants and animals. To document the ethnobiological knowledge, the survey was conducted during 2011-12 by employing a semi-structured questionnaire and thus 54 informants were interviewed. Plant and animal specimens were collected, photographed and properly identified. Distribution of plants and animals were explored by descriptive and graphical examination. MLS were further incorporated to identify the probability of occurrence of diversified utilization of plants and animals in multipurpose domains. Traditional uses of 91 plant and 65 animal species were reported. Data analysis revealed more medicinal use of plants and animals than all other use categories. MLS findings are also in line with these proportional configurations. They reveal that medicinal and food consumption of underground and perennial plants was more as compared to aerial and annual categories of plants. Likewise, medicinal utilization of wild animals and domestic animals were more commonly observed as food items. However, invertebrates are more in the domain of medicinal and food utilization. Also carnivores are fairly common in the use of medicine while herbivores are in the category of food consumption. This study empirically scans a good chunk of ethnobiological knowledge and depicts its strong connection with indigenous traditions. It is important to make local residents beware of conservation status of species and authentication of this knowledge needs to be done in near future. Moreover, Statistically significant findings impart novelty in the existing literature in the field of ethnobiology. Future conservation, phytochemical and pharmacological studies are recommended on these identified plants and animals in order to use them in a more sustainable and effective way. Mohammad Fahim KadirMuhammad Shahdaat Bin SayeedM M K MiaEthnopharmacological relevance There is very limited information regarding plants used by traditional healers in Rangamati, Bangladesh, for treating general ailments. Current study provides significant ethnopharmacological information, both qualitative and quantitative on medical plants in Rangamati. Aim of the study This study aimed to collect, analyze and evaluate the rich ethnopharmacologic knowledge on medicinal plants in Rangamati and attempted to identify the important species used in traditional medicine. Further analysis was done by comparison of the traditional medicinal use with the available scientific literature data. Materials and methods The field survey was carried out in a period of about one year in Rangamati, Bangladesh. A total of 152 people were interviewed, including Traditional Health Practitioners THPs and indigenous people through open-ended and semistructured questionnaire. The collected data were analyzed qualitatively and quantitatively. This ethnomedicinal knowledge was compared against the literature for reports of related uses and studies of phytochemical compounds responsible for respective ailments. Results A total of 144 species of plants, mostly trees, belonging to 52 families were identified for the treatment of more than 90 types of ailments. These ailments were categorized into 25 categories. Leaves were the most frequently used plant parts and decoction is the mode of preparation of major portions of the plant species. The most common mode of administration was oral ingestion and topical application. Informant consensus factor Fic values of the present study reflected the high agreement in the use of plants in the treatment of gastro-intestinal complaints and respiratory problems among the informants. Gastro-intestinal complaint had highest use-reports and 3 species of plants, namely Aegle marmelos L. Corr., Ananas comosus L. Merr., and Terminalia chebula Gaertn. Retz., had the highest fidelity level FL of 100%. Asparagus racemosus Willd. and Azadirachta indica A. Juss. showed the highest relative importance RI value of According to use value UV the most important species were Azadirachta indica A. Juss. and Ocimum sanctum L. Conclusion As a result of the present study, we recommend giving priority for further phytochemical investigation to plants that scored highest FL, Fic, UV or RI values, as such values could be considered as good indicator of prospective plants for discovering new drugs. Also counseling of THPs should be taken into consideration in order to smooth continuation and extension of traditional medical knowledge and practice for ensuring safe and effective AfuangP. SiddhurajuK. BeckerThe suitability of raw and methanol-extracted moringa Moringa oleifera Lam. leaf meal to replace 10%, 20% and 30% of the total fishmeal-based dietary protein in tilapia feeds was tested. Ten isonitrogenous and isocalorific feeds 35% crude protein and 20 MJ kg−1 gross energy, denoted as diets 1 fishmeal-based control, 2, 3, 4 containing 13%, 27% and 40% raw moringa leaf meal, 5, 6, 7 containing 11%, 22% and 33% methanol-extracted moringa leaf meal, and 8, 9, 10 containing methanol-soluble extracts of the raw moringa leaf meal at the same level as would have been present in diets 2, 3, 4 were prepared. Forty tilapia g, kept individually, were fed the experimental diets four fish per treatment at the rate of 15 g feed per kg metabolic body weight per day. A reduction in the growth performance was observed with an increasing level of raw moringa leaf meal diets 2–4, whereas inclusion of methanol-extracted leaf meal diets 5–7 had no significant P< effect on the growth performance compared with the control diet 1. The growth performance of fish fed diets 8–10 containing methanol extracts of the moringa leaf meal were also similar to the control. The chemical composition values of the gained weight showed that lipid accretion decreased with increased inclusion of moringa leaves, and ash content increased. Dietary moringa methanol extracts reduced protein accretion, but had no effects on lipid and ash contents compared with the control. The inclusion of raw, methanol-extracted residues and methanol extracts of the moringa leaf meal diets 3 and 4, 5, 6 and 7, and 8 respectively reduced the plasma cholesterol content significantly. Similarly, a significant reduction in muscle cholesterol was observed in fish fed the diets 4, 8, 9 and 10. It was concluded that the solvent-extracted moringa leaf meal could replace about 30% of fishmeal from Nile tilapia main objectives were to collect information on the use of medicinal plants and compare medicinal plant traditions between Run and Qi. Information was obtained from semi-structured interviews, personal conversation and guided fieldtrips with herbalists. 385 species belonging to 290 genera in 104 families were used for the treatment of various diseases. Rubiaceae 20 species, Euphorbiaceae and Compositae 19 species respectively were predominant families used by herbalists. The most species were used for injuries muscular-skeletal system disorders and infections/infestations The coefficient of similarity shown a high consensus of plant species used by Run and Qi. The 'informant agreement ratio' values for both Run and Qi are rather low less than Traditional medicinal plants still play an important role in medical practices of Li Ethnic Group around There is a close relationship of medicinal plant traditions between Run and Qi. Further investigation is necessary to record this valuable knowledge before its Pugalenthi V. VadivelP. SiddhurajuMucuna pruriens var. utilis, an underutilized tropical legume has a nutritional quality comparable to soya beans and other conventional legumes as it contains similar proportions of protein, lipid, minerals, and other nutrients. The beans have been traditionally used as a food in a number of countries, viz., India, Philippines, Nigeria, Ghana, Brazil, and Malawi. Recently, the velvet beans are exploited as a protein source in the diets of fish, poultry, pig, and cattle after subjected to appropriate processing methods. Although the velvet beans contain high levels of protein and carbohydrate, their utilization is limited due to the presence of a number of antinutritional/antiphysiological compounds, phenolics, tannins, L-Dopa, lectins, protease inhibitors, etc., which may reduce the nutrient utilization. Unfortunately, even though many researchers all over the world working on Mucuna, only scanty and conflicting information are available regarding its utilization as a food/feed and no scientific gathering to date has focused on the food/feed applications of Mucuna. Hence, the present review has been emphasized on the nutritional potential of this underutilized, nonconventional legume and current state of its utilization as food/feed for both human beings and livestock throughout the book on weed identification. directorate of weed science researchV S G R NaiduNaidu, V. S. G. R. 2012. Hand book on weed identification. directorate of weed science research. India study for swamp Lokal vegetables at Martapura Market of South Kalimantan. Ziraa'ahH SusantiSusanti, H. 2015. Ethnobotanical study for swamp Lokal vegetables at Martapura Market of South Kalimantan. Ziraa'ah, 40, 2, 140-144.
pasar sayuran di daerah pegunungan termasuk pasar